RIWAYAT
SINGKAT
Lahir
: Gorontalo, 31
Juli 1917
Wafat
:11 Maret 2000
Pendidikan
:
- SD, Gorontalo (1932),
- HBS Medan (1939),
- Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1957),
- pernah kuliah di Universitas Yale, Amerika Serikat
(1959),
- Doctor Honoris Causa dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (1975),
Menguasai bahasa Inggris, Belanda, perancis dan Jerman
Profesi
:
- Sekretaris redaksi Pujanggan Baru (1940-1942).
- Penasehat Balai Pustaka (1940-1952), Gapura
(1949-1951), Gunung Agung (1953-1970), Nusantara (1963-1967), Pustaka Jaya
(1971-1972), dan Yayasan Idayu (1974-1992).
- Redaksi penyusun Daftar Pustaka Bahasa dan Kesusastran
Indonesia (1969-1972).
- Redaksi penyusun buku dr. Irene Hilgers-Hesse (editor),
Perlenim Reisfeld (1972).
- Redaksi penyusun Almanak sastra Indonesia I Daftar Pustaka
(1972).
- Penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
(1973-1982).
Prestasi
:
- Tokoh Pembukuan Nasional (2 Mei 1996)
- Penghargaan dari pengurus pusat IKAPI atas jasa-jasanya
kepada perbukuan di Indonesia (17 Oktober 2000)
Karya Tulis :
- Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),
- Kesusastraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esei
I-IV (1954),
- Heboh Sastra 1968 (1970),
- Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983),
- Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983),
- Surat-Surat 1943-1983 (1984),
- Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993),
- Koran dan Sastra Indonesia (1994),
- Darah Laut : Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997),
- Omong-Omong HB. Jassin (1997)
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B.
Jassin selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra Indonesia dan H.B. Jassin
adalah orang yang secara penuh mencurahkan perhatiannya kepada kerja
dokumentasi. Itulah sebabnya, orang yang bermaksud mencari informasi tentang
sastra Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya dengan hasil pengumpulan bahan
dokumentasi yang disusun oleh H.B. Jassin. Kerja dokumentasi bagi H.B. Jassin
adalah kerja yang sudah dimulainya sejak mudanya dengan penuh kecintaan.
Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu
Jassin, pegawai BPM (Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di
Balikpapan, sehingga kota itu meninggalkan kenang-kenangan yang manis baginya.
Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya. Di kota Medan ia banyak berkenalan
dengan seniman dan para calon seniman, diantaranya Chairil Anwar. Dalam
perjalanannya pulang ke Gorontalo tahun 1939, ia mampir untuk bertemu dengan
Sutan Takdir Alisjahbana di Jakarta. Takdir sengat terkesan dengan Jassin dan
mengirim surat ke Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya
surat itu berlayar bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan
orang tuanya, ia bekerja di kantor Asisten Rsiden Gorontalo antara bulan
Agustus sampai Desember 1939, sebagai tenaga magang.
Bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya untuk
memenuhi permintaan Sutan Takdir Alisjahbana. Bulan Februari 1940, H.B. Jassin
mulai bekerja di Balai Pustaka. Ia mula-mula duduk dalam sidang pengarang redaksi
buku di bawah bimbingan Armijn Pane pada tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi
redaktur majalah Panji Pustaka tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti
menjadi Panca Raya, ia menjabat wakil pemimpin redaksi di tahun 1943 sampai
dengan 21 Juli 1947. Tanggal 21 Juli 1947 itulah akhir kariernya di Balai
Pustaka.
Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B. Jassin secara
terus-menerus bekerja dalam lingkungan majalah sastra-budaya. Ia menjadi
redaktur majalah Mimbar Indonesia di tahun 1947-1966, majalah Zenith di tahun
1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya di tahun 1952-1963, majalah Kisah tahun
1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra di tahun 1961-1964 dan
tahun 1967-1969.
Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan
Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian
Anugerah Seni Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975),
anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975),
anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-1980),
Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota
Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International
Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri
Sayembara Mengarang Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri
Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia
pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen Suara Pembaruan ditahun
1991.
Tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan itu
berlangsung sejak dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno 8 Mei
1964 sampai meletusnya G30S/PKI tahun 1965.
Cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, yang dimuat H.B.
Jassin dalam Sastra, 1971, sempat dianggap ”menghina Tuhan”. Di pengadilan, ia
diminta mengungkapkan nama Ki Panji Kusmin sebenarnya. Permintaan ditolaknya.
Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara
dengan masa percobaan dua tahun.
Sejak tahun 1940, H.B. Jassin telah mulai membina sebuah
perpustakaan pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor
Asisten Residen di Gorontalo sangat berguna bagi pendokumentasian buku.
Tanggal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin yang menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d
sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam
komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.
Paus Sastra Indonesia
Sejarah mencatat, sepanjang hidupnya H.B. Jassin menumpahkan
perhatiannya mendorong kemajuan sastra-budaya di Indonesia. Berkat ketekunan,
ketelitian dan ketelatenannya, ia dikenal sebagai kritisi sastra terkemuka
sekaligus dokumentator sastra terlengkap. Kini, kurang lebih 30 ribu buku dan
majalah sastra, guntingan surat kabar, dan catatan-catatan pribadi pengarang
yang dihimpunnya tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Begitu besarnya pengaruh H.B. Jassin di antara kalangan
sastrawan, Gajus Siagian (almarhum) menjulukinya “Paus Sastra Indonesia”. Saat
itu berkembang suatu ‘keadaan’ saat seseorang dianggap sastrawan yang sah dan
masuk dalam ‘kalangan dalam’ bila H.B. Jassin sudah ‘membabtisnya’. Meski
kedengarannya berlebihan namun begitulah adanya.
Saat itu, ada beberapa pengarang yang lama berada di ‘kalangan
luar’ sebelum akhirnya diakui masuk dalam ‘kalangan dalam’ seperti Motinggo
Busye, Marga T yang aktif produktif mengarang, dan penulis novel pop lainnya.
Padahal karya-karya mereka cukup baik, berseni dan bernilai tinggi. Mereka
bergabung menjadi ‘kalangan dalam’ karena “pengaruh besar kepausan” H.B.
Jassin. H.B. Jassin jugalah yang menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor
Angkatan ’45. Lebih dari 30 tahun, julukan itu disandangnya.
Jassin rajin dan tekun mendokumentasikan karya sastra, dan
segala yang berkaitan dengannya. Dari tangannya lahir sekitar 20 karangan asli,
dan 10 terjemahan. Yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa Penyair dan
Daerahnya, Kesusasteraan Indonesia Baru Masa Jepang, Kesusasteraan Indonesia
Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-1967) dan tafsir Alquran dalam
buku Qur’an Bacaan Mulia. Pada saat ulang tahunnya ke-67, PT Gramedia
menyerahkan ”kado” buku Surat-Surat 1943-1983 yang saat itu baru saja terbit.
Di dalamnya terhimpun surat Jassin kepada sekitar 100 sastrawan dan seniman
Indonesia.
Kisah Unik
Ada kisah unik saat ia menempuh pendidikan di UI. Saat itu, H.B.
Jassin merangkap sebagai mahasiswa dan mahaguru sekaligus. Ketika kuliah sastra
lama, terutama mata pelajaran Jawa Kuno, Sansekerta, H.B. Jassin menjadi
mahasiswa, tekun duduk bersama mahasiswa lainnya dan penuh perhatian pada
matakuliahnya. Tetapi begitu berganti matakuliah Sastra Modern, Masa Kekinian,
H.B. Jassin berdiri dan maju ke depan, berdiri di podium lalu memberi kuliah,
karena memang sebagai doktor Sastra Modern. Jadi dalam satu hari pada dua
matakuliah, ia sekaligus bisa menjadi mahasiswa dan bisa menjadi mahaguru. Pada
masa itu, orang seperti dia masih sangat langka. Ia memberikan teladan kepada
para mahasiswa dengan rajin belajar, tekun, teliti dan sungguh-sungguh.
H.B. Jassin terbilang bukan orang yang ahli berdebat atau ahli
berbicara di depan umum. Ia adalah orang yang menulis, berpikir lalu
menuliskannya, tekun, rajin, dan berhati-hati. Seringkali saat diajak berdebat
di depan forum resmi, ia tidak meladeninya. Karena itu pula pada banyak
kesempatan pada beberapa kali simposium sastra-budaya, konggres, konferensi,
seminar, dia selalu menolak untuk berbicara yang sifatnya aka nada perdebatan.
Wafat
Pria gemuk pendek ini menikah tiga kali. Istri pertama, Tientje
van Buren, wanita Indo yang suaminya orang Belanda yang disekap Jepang, pisah
cerai. Lalu Arsiti, ibu dua anaknya, meninggal pada 1962. Sekitar 10 bulan
kemudian ia menikahi gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang terpaut usia
26 tahun. Yuliko juga memberinya dua anak. Dari kedua istri ini, ia memiliki
empat anak, yakni Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Yulius Firdaus Jassin,
Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan seorang cicit.
Ia meninggal pada usia 83 tahun, Sabtu dini hari, 11 Maret 2000
saat dirawat akibat penyakit stroke yang sudah dideritanya selama
bertahun-tahun di Paviliun stroke Soepardjo Rustam Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sebagai penghormatan, ia dimakamkan dalam upacara
kehormatan militer “Apel Persada” di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata,
Jakarta.