Matanku Hidayahku
Judul Cerpen Matanku Hidayahku
Cerpen Karangan:
Aulia Farhah FA
Kategori:
Cerpen Cinta Islami,
Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 20 March 2017
Angin pukul tiga sore di balkon lantai tiga gedung kuliah mengantar
sebingkis kenangan beserta rindu kepadaku. Lagu lebih indah dari Adera
menjadi pengiring film pendek yang menggantung di bulu mataku. Bulan
Oktober, tepat tiga tahun lalu untuk pertama kalinya aku patah hati. Aku
tersenyum getir.
Namaku Fara bernafas dengan paru-paru seperti kamu, kecuali kalau
kamu kuda laut. Usiaku masih empat belas tahun ketika aku bertemu dengan
manusia berusia empat belas tahun lain di sebuah bimbingan belajar.
Namanya Eja Al-anbiya, seorang pria cerdas berwajah tampan dan makan
nasi bukan ikan paus. Kau pun akan jatuh hati bila mengenalnya. Aku
dengar ia bersekolah di SMP Islam, sangat jauh dari lokasi bimbel.
Pukul empat sore aku sudah sampai bimbel, lengkap dengan jilbab
pertama yang aku beli sendiri. Aku bercerita tentang Eja kepada temanku,
aku memintanya mengajariku cara memakai jilbab dengan benar agar Eja
tertarik untuk mengenalku. Seperti biasa aku dan Eja duduk di kursi yang
berdekatan, sungguh ini bukan rekayasa yang aku buat untuk bisa dekat
dengannya. Aku lebih tertarik memperhatikan Eja yang terus bertanya
kepada tentor, daripada melihat papan tulis berisikan materi yang sudah
aku kuasai. Memperhatikan setiap gerak-geriknya tiba-tiba menjadi hobi
baruku, aku bahkan memergokinya mengeluarkan darah dari hidung kemudian
berlari ke kamar mandi.
“Ayo sholat maghrib”, ajaknya suatu hari ketika aku masih asyik mengerjakan soal matematika.
“Di sini? Imamnya?”, tanyaku setelah berhasil menekan rasa gugup karena terlalu senang.
“Aku”, bibirnya mengembang memperlihatkan deretan gigi yang tak rata, tapi aku suka.
Kali pertama aku berdiri di belakangnya sebagai makmum. Mendengarkan
bacaan solatnya yang merdu menjadi rutinitas baruku, aku suka. Berpura
bodoh agar bisa menanyakan beberapa soal kepadanya membuatku benar-benar
terlihat bodoh, tapi aku suka.
“Aku lapar”, gerutuku di belakang pintu minimarket.
“Aku lebih lapar, angkringan yuk”, matanya melebar memperkuat kesan antusias.
“Mauuuu”
Nasi berlauk secuil ikan bandeng beserta sambal khas angkringan
tiba-tiba menjadi makanan paling enak, karena saat itu aku sedang makan
malam bersamanya. Jalan raya Solo-Jogja dihadiahi gerimis romantis
ketika aku sedang berjalan bersama Eja untuk kembali ke bimbel. Kami
berjalan di pembatas jalan sambil mengangkat tangan membentuk seperti
sayap pesawat. Bila kau pikir cahaya merah dan jingga yang menggeliat di
atas aspal hitam itu adalah lampu kendaraan, bagiku itu adalah lampion
dari Tuhan, romantis.
“Kalian dari mana?”, tanya seorang perempuan berjilbab hitam mengejutkanku.
“Makan”, Eja membenarkan posisi tas di punggungnya.
“Berdua?”
“Dua setengah, tambah dia”, aku menyeringai bangga, dia yang kumaksud adalah teman kami yang berbadan kurus.
“Kok aku ga diajak?”, perempuan itu mengangkat wajahnya.
“Lupa”, jawabku bersamaan dengan Eja.
Perempuan berjilbab hitam itu pun tertunduk lesu, wajahnya terlihat
begitu kecewa. Perempuan itu bernama Nurma, entah bagaimana aku bisa
tahu kalau ia juga menyukai Eja. Aku akui dia cantik, pintar, dan
mungkin akhlaknya lebih merepotkan malaikat Raqib. Nurma satu sekolah
denganku, sejak kelas tujuh aku sudah mengaguminya.
Aku bertarung dingin dengan Nurma, tentu untuk memenangkan Eja.
Sindiran saling berbalas di halaman facebook hingga hampir satu angkatan
tahu perseteruanku dengannya. Rasa kagumku berubah menjadi kesal, kami
pun saling diam. Aku tahu Eja mengetahui apa yang terjadi tetapi ia
memilih diam.
Satu minggu setelah ujian nasional, dua minggu aku tidak berjumpa
dengan Eja maupun Nurma. Tapi tiba-tiba Eja memintaku untuk menjadi
pacarnya, aku setuju kemudian menangis senang. Malam itu tanggal enam
Mei 2013, aku tahu persis, Nurma sedang menangis di kamarnya, kasihan.
Aku bertemu Eja satu bulan kemudian di bimbel. Ada gempuran gugup
yang berusaha aku tutupi ketika melihatnya kala itu, aku tahu Eja juga
berusaha untuk bersikap normal. Aku belum pernah merasa seperti itu
karena memang Eja adalah pria asing pertama yang membuatku jatuh hati.
Aku pun tahu kalau aku juga perempuan pertama untuknya.
“Gimana tadi survey sekolahnya?”
“Sebel”
“Kenapa?”
“Aku dikira bapak yang anter anaknya”
“Haha ibunya siapa?”
“Kamu kan?”
“Ha ha ha”
Aku suka dekat dengan Eja. Banyak hal pertama yang kami lakukan
bersama. Seperti ketika Eja pertama datang ke rumahku dengan membawa
banyak formulir pendaftara ekstrakulikuler di sekolahnya, ketika aku
datang ke rumahnya dan harus menghabiskan tiga jenis minuman. Banyak hal
tak terduga yang kami alami bersama, seperti ketika ia memintaku
berpura-pura menjadi ibunya untuk datang ke sekolah menemui seniornya.
Aku senang ada di dekatnya, maka cukuplah kami berkeliling dengan motor
dan mampir ke tempat menarik yang tak jauh dari rumah. Semua itu terjadi
secara alami dan membuatku mengerti bahwa aku menyayanginya, selama dia
adalah Eja, aku menyayanginya.
“Fara, kamu mau ga jadi pacarku?”, tanyanya suatu hari di bukit sambil memegang tanganku.
“Lagi? Aku kan emang untuk kamu”
“Ya sekali lagi, biar yakin”
“Emang sekarang ga yakin?”
“Takutnya kamu lupa”
“Ha ha ha”
“Mau ga?”
“Mau”
“Alhamdulillah”
“Ha ha ha”
Kami melewati banyak hal menarik bersama. Ketika Eja ulang tahun, aku
membuat sekotak kue nastar berbentuk hati dan namanya. Aku menunggu
selama hampir tiga jam di depan sekolahnya. Setelah ia menghampiriku,
kami pergi ke halaman masjid raya, di sana ia menyanyikan lagi Adera.
Aku tidak pernah bisa lupa ketika Eja menangis di bahuku, waktu itu ia
sedang merasa dijebak dan di pojokan oleh seniornya. Siapa sangka
seorang remaja SMA yang biasa memimpin upacara tiba-tiba menangis. Aku
mengusap air matanya dengan dramatis sambil berkata “kalau nangis
gantengmu ilang”. Tak lama kemudian kami memutuskan untuk pulang. Aku
memegang jaketnya erat, ku letakan daguku di bahunya seperti tak ingin
kulepas. Kuamati bibirnya dari kaca spion, masih terliat gemetar meski
sesekali tertawa karena kugoda.
Aku tidak tahu bagaimana kemudian kami menjadi dua anak SMA yang
sama-sama sibuk. Ia sibuk dengan olimpiade, sedangkan aku sibuk
merindukannya. Eja berubah menjadi makhluk yang sulit dihubungi. Sudah
lebih dari satu bulan dia tidak meneleponku. Hilangnya Eja membuatku
memilih untuk menyibukan diri. Aku bergabung dalam berbagai organisasi
di sekolah seperti rohani islam, pecinta alam, KIR, pramuka, dan
biologi. Di rohis aku menjabat sebagai bendahara humas. Aku ingat ketika
seleksi pengurus rohis.
“Dek kamu punya pacar?”
“Punya”
“Kalau pacaran ngapain aja?”
“Belajar.. Main.. Rindu”
“Kita kan rohis, jadi harus memberi contoh, gimana kalau temenan aja?”
Kalimat itu terus keluar masuk telingaku seperti kereta yang hanya
memiliki satu jalur. Beberapa minggu kemudian aku menggertak Eja agar
menghubungiku atau putus saja, ternyata Eja tidak menghubungiku. Malam
itu di depan rumah saudaraku, mereka sedang misa (kerohanian nasrani),
sedangkan aku sedang sedih sebab Eja.
Tidak seperti perempuan yang menangis-nangis ketika patah hati, aku
justru menutupinya agar tidak ada yang tahu kalau aku dan Eja sudah
putus. Mulai saat itu aku berkumpul dengan teman-teman di masjid setiap
sore. Menjadi aktifis yang dianggap sebagai peramai suasana. Jilbabku
sudah jauh lebih baik, dan kali ini bukan untuk Eja tetapi untukku dan
rabb-ku. Setiap selasa dan rabu aku ikut mentoring, pengajian rutin.
Satu bulan sekali kami membersihan masjid, ini adalah kegiatan yang
paling aku suka selama menjabat sebagai anggota rohis. Aku sudah tidak
merasa sedih setiap mengingat Eja, aku bahagia hidup seperti ini.
Sebagai anggota rohis yang kontra-pacaran, aku tidak memandang buruk
teman-temanku yang berpacaran dalam batas wajar, karena aku tahu bahagia
macam apa yang sedang mereka rasakan, meski bila diminta untuk
mengulanginya pun aku tak mau.
Maret 2014 aku menghadiri sebuah acara diskusi. Semua berjalan
baik-baik saja sampai tiba-tiba Eja datang dan membuatku berimajinasi
bahwa ada cahaya dan bunga keluar dari balik badannya. Eja duduk tak
jauh dari kursiku. “Mbak berjilbab merah itu cantik, pasti belum punya
pacar”, ucap salah satu pembicara yang mengarah kepadaku. Aku menunduk
malu seraya bergumam “orang yang aku cinta ada di sini, lalu untuk apa
pacar?”. Kemudian aku melihat Eja tersenyum dari pinggir mataku.
Aku dan Eja bergabung dalam suatu organisasi, itu adalah kesempatan
untukku bisa memperhatikan gerak-geriknya lagi. Tak butuh waktu lama
untuk kami kembali dekat, dan seluruh anggota organisasi kemudian tahu
tentang masa lalu kami. Banyak hal hebat yang kami lalui bersama, kami
bertemu tokoh-tokoh ternama seperti Sabar Gorky. Hingga suatu hari Eja
kembali memintaku untuk mau menerimanya kembali. Aku mau, sangat mau,
tetapi aku tidak lagi mau berpacaran. Yang aku ingat saat itu adalah
perbincangan ketika seleksi rohis. Entah apa yang dirasakan Eja saat
itu, aku tidak mau menebak. Suatu hari organisasi kami mengalami
gangguan besar, hingga akhirnya aku dan Eja harus keluar. Kami berpisah,
lagi.
Aku kembali hidup sebagai anak kelas 11 SMA sekaligus aktifis dan
anggota pecinta alam yang sibuk. Mungkin kau akan tertawa jika
memergokiku sedang menyampaikan mentoring kepada anak kelas 10. Aku
sering menyinggung soal ‘mantan’ yang kemudian aku sangkut pautkan
dengan materi. Menurutku itu bahasan yang asyik dan segar untuk usia
kami.
“Kak, terus kalau kita sayang sama cowok, kita harus gimana?”, salah
satu anak bimbingku bertanya ketika aku kehabisan bahan untuk mengisi
mentoring.
“Yaudah sih, sayang itu hak.. Selanjutnya adalah kewajiban untuk jaga
diri, bukti nyata kalau kamu sayang ya kamu doain orang itu”
“Sebenernya Allah marah ga kalau kita pacaran?”
“Allah cemburu. Kalau kamu cemburu, marah ga?”
Sebagai seorang mentor aku cukup disukai anak bimbingku, menurut
mereka aku bisa membawakan materi dengan simpel dan asyik. Tolong jangan
bayangkan aku sebagai seorang wanita anggun dengan jilbab yang begitu
lebar. Aku takut kamu kecewa.
14 Februari 2015. Organisasi pecinta alam sekolahku mengadakan
latihan gabungan dengan sekolah tetangga. Aku tidak ikut latihan karena
saat itu kakiku sedang memar. Ketika aku asyik bernostalgia dengan
seorang kawan, tiba-tiba Eja datang. Itu memang sekolah Eja, tapi aku
tidak tahu kalau Eja akan datang dan memberi materi untuk organisasiku.
Sore itu hujan turun deras, seperti kenangan yang membuatku kuyub.
Imanku goyah, aku terus memandangi Eja berjam-jam.
“Dia abis putus”
“Iya?”
“Seminggu yang lalu”
Aku menangis kecewa karena Eja seakan menduakanku.
Pertemuan hari itu mempertemukan hatiku dengan milik Eja lagi.
Beberapa kali kami bertemu dan pergi bersama sebagai kawan. Aku ingat
betul ketika kami pergi ke pantai, saat itu ia bicara “alam merestui
kita” kemudian aku tersenyum. “Kita ke pantai sama siapa aja?”, tanyaku
sebelum berangkat.
“Aku, kamu, snorkle, fin, dan pantai”, jawabnya.
Sepanjang tahun 2015 kami sering berjumpa. Seperti sebuah kebutuhan
untuk saling hadir. Ia sering bercerita tentang cita-citanya, aku suka
membuatnya bercerita karena aku suka mendengarnya. Lama-lama aku merasa
Eja bukanlah Eja. Ia berubah dan membuatku khawatir akan patah hati
lagi. Desember 2015 aku memberinya sebuah kotak berisi banyak kertas dan
tulisan serta pasukan perahu. Aku anggap kotak itu sebagai lambang
perpisahan karena aku tidak mau terbawa arus negatif lagi.
Penghujung Januari 2016. Lewat satu hari ulang tahunku Eja datang ke
rumah bersama teman-temannya juga kawan-kawanku. Aku senang, tetapi mata
Eja asing bagiku. Maret 2016, Eja resmi berpacaran dengan teman satu
kelasnya. Aku merasa nadiku habis digerogoti pedih, mataku terbuka lebar
dengan posisi tubuh telentang kemudian meringkuk merasa begitu sakit
entah dibagian tubuh mana. Aku merasa mati suri entah karena apa. Ujian
Nasionalku pun berantakan. Rasanya aku ingin menculik dan membuatnya
mengerti bahwa tidak ada perempuan lain yang menyayanginya seperti
caraku, dan ia telah menyakiti perempuan itu lagi. Tapi aku tahu siapa
aku, seorang perempuan muslim yang harus menjaga diri dan harga dirinya.
Aku membenci Eja yang tak bersalah.
Mei 2016 Eja putus. 31Juli 2016 usia Eja genap delapan belas tahun.
Aku menyusun sebuah paragraf sebagai kado untuknya, sehari kemudian ia
bilang kalau ia terharu. Eja bercerita tentang mantan pacarnya yang
baru, aku senang mendengar ia bercerita. Aku jadi tahu tentang ia yang
mulai merokok dan segala hal buruk lain. Semua itu membuatku harus
berfikir sepuluh kali untuk meninggalkannya begitu saja.
“Kalau kamu dapet uang panas, gimana?”
“Uang gosong?”
“Haha setengah mateng”
“Ih, haram ya?”
“Iya”
“Balikin”
“Masa balikin ke bandar?”
Atau
“Jangan tinggalin aku lagi Fara”
“Aku ga kemana-mana, kamu yang pergi-pergi”
“Maaf Fara, aku jahat”
Aku diam
“Fara jangan diem, siapa lagi yang tahu aku lebih dari kamu?”
“Kamu sudah sholat?”
“Nanti saja”
“Kamu orang baik, jangan jadi orang nakal”
“Aku bukan orang baik Fara, Fara aku sayang kamu”
Saat itu harus berfikir ulang untuk mempercayai omongan Eja. Aku
tidak lagi mau kecewa, karena berharap kepada manusia hanya akan membuat
kecewa. Aku memilih untuk mendampingi Eja seperti seorang ibu menjaga
anaknya. Aku tidak mau manusia sebaik Eja terjerumus ke hal negatif yang
tidak pernah ku bayangkan bisa mempengaruhinya.
Sekarang pukul tiga lewat lima belas menit, waktu sholat asar sudah
lewat dan sebentar lagi aku harus mengikuti mentoring pertama di masjid.
Aku tidak tahu mengapa Allah membuat cerita tentang aku dan Eja begitu
berputar-putar, entah bagaimana akhirnya. Aku pun tidak tahu mengapa
Allah menitipkan rasa yang begitu besar kepadaku, entah ini anugerah
atau bencana. Rencana-Nya adalah rahasia-Nya, sedangkan aku hanya
berusaha menjadi kawan yang baik untuk Eja. Sudah lebih dari dua bulan
aku tidak melihatnya, semoga ia selalu dalam lindungan-Nya.
Aku berjalan cepat menuruni tangga yang berputar. Gedung C sudah sepi
karena hampir semua kelas sudah selesai. Gerimis turun ketika aku baru
setengah jalan menuju masjid. Angin yang cukup kencang
mengibas-ngibaskan jilbab panjangku yang kotor oleh kuah soto. Ponsel di
saku tiba-tiba bergetar bersamaan dengan lampu merah yang
berkedap-kedip di ujung atas ponsel.
“Lapor.. Tadi ada masalah. Satu, ngantuk. Dua, lapar. Tiga, kebelet.
Empat, keran mushola mati. Lima, rindu. Point satu sampai lima sudah
berhasil teratasi, tapi point lima kamulah ahlinya. Laporan selesai”,
pesan dari Eja. Aku senyum.
Aku tidak tahu kenapa Allah mempertemukanku dengan Eja, tetapi pasti
Allah punya tujuan. Aku bersyukur karena aku bertemu dengan Eja,
bagaimana pun juga Eja adalah awal mula aku bersemangat untuk menutup
aurat. Dari prestasi-prestasi Eja tentang agama aku bisa belajar untuk
mengenal agamaku lebih dalam lagi. Hingga kini aku mendapat julukan
“tomboy syar’i” di kampusku. Terimakasih Eja, maaf aku pensiun
mengencanimu tapi tidak ada hari libur untuk mendoakanmu. Kawanku, aku
rindu.