YASTI

Rabu, 12 April 2017

Tentang Kita

Tentang Kita

Judul Cerpen Tentang Kita
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja


Di sudut sebuah gedung tua itu, tersusun rapi bangku-bangku panjang ditemani deretan kursi kayu bercat kusam. Bukan karena kusam dimakan usia. Melainkan, model bangunannya yang dirancang khusus menyerupai bangunan-bangunan tempo Belanda jaman dulu. Begitu besar dan luas. Rak-rak buku memenuhi bagian dalam gedung tua ini. Di luarnya begitu nyaman. Pohon-pohon tumbuh menjulang tinggi, membuat lingkungan luar gedung ini terasa begitu nyaman, adem. Di antara dua pohon besar terdapat kumpulan kursi melingkar beserta sebuah meja kayu bundar di tengahnya. Cukup nyaman memang. Tempat favorit yang selalu ia kunjungi. Tempatnya merasakan sebuah kenyamanan.
Hampir setiap pulang sekolah ia tidak pernah absen untuk mengunjungi tempat ini. Walau hanya duduk sebentar menghabiskan waktu senja. Seperti halnya sekarang, sepulang sekolah ia pergi ke tempat ini. Ia duduk di antara kursi di bawah pohon rindang. Sendiri. Hanya seorang diri. Inilah hal yang selalu ia suka. Ia mengeluarkan sebuah buku. Bukan buku pelajaran, bukan pula buku novel atau kumpulan sastra lainnya. Melainkan sebuah buku mungil yang ia temukan tanpa sengaja di sebuah meja bagian dalam gedung tua itu. Sudah seminggu buku ini berada di tangannya. Entah kenapa, ia masih terus menyimpan buku ini. Sebuah buku kecil berwarna coklat bersampulkan sebuah coretan-coretan indah. Tapi, ia hanya sekedar menyimpan dan tak akan pernah berani tuk membukanya, apalagi membaca isi buku itu.
Kini, ia mulai merasa ada suatu hal yang akan mengganggunya. Dengan segera ia memasukan buku itu ke dalam ranselnya. Dari pintu masuk gerbang gedung ini, muncul Seorang laki-laki sebaya yang berusaha untuk mendekat dan bahkan berani untuk duduk di sampingnya. Perlahan laki-laki itu mencoba tuk memulai pembicaraan.
“Hai.. siapa kamu?”, pertanyaan yang kurang beradab tuk ditanyakan. “Siapa? Kamu orang waras kan? Datang dengan tiba-tiba, hanya untuk menanyakan soal itu?”, jawabnya kesal. “Dasar perempuan aneh, gitu ajah kok marah.”, jawabnya seakan tidak punya salah. “Eh, kalo kamu dateng ke sini hanya untuk merusak segala kenyamanku mending kamu pergi!”, jawabnya dengan nada tinggi. “Emang tempat ini milikmu? Ini tempat umum nyonya, kamu tak pantas tuk menguasai tempat ini”, jawabnya dengan santai. “Tempat ini memang bukan miliku, tapi tempat ini…”, karena kesal ia tak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia pergi dengan langkah kaki yang tidak biasa, begitu cepat. Selain itu ia masih menyimpan seribu rasa kesalnya.
Esoknya di sekolah
Ia mendengar kabar, bahwa di kelasnya akan kedatangan seorang murid baru. Dan kabar buruknya, murid baru itu laki-laki. Entah kenapa ia begitu yakin akan firasatnya. Sebuah firasat bahwa murid baru itu adalah laki-laki yang ia temui sore tadi di gedung tua.
Dan ternyata firasatnya memang benar, murid baru itu laki-laki nyebelin yang tadi sore ia temui. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh” ia membuka perekanalan dengan salam. “Yah, perkenalkan nama saya Rafa Al-Hafidz Suryadiningrat. Saya biasa dan saya lebih suka dipanggil Ray.”, ungkapnya dengan penuh percaya diri.
Suatu hal yang menjengkelkan kembali terjadi. Sang wali kelas memberi tempat duduk si anak laki laki itu dengannya. “Oh iyah Nak, kamu duduk di sebelah Zahra yah..” “Siapa itu bu?” tanyanya dengan penuh heran. “Dia yang duduk di bangku kedua itu” jawab sang guru sambil menunjuk ke arah Zahra.
“Hai nyonya, kita kembali dipersatukan lagi. Ternyata nama kamu bagus juga. Zahra… Siapa nama lengkapmu?”, tanyanya kepo. “Penting gitu kamu nanya nama lengkapku?”, jawabnya masih dengan muka kesal.
Hari demi hari kian berganti. Mereka bagaikan air dan minyak. Tak pernah bersatu. Bahkan mereka sangat jarang sekali berinteraksi. Hingga ada suatu hal yang membuat semuanya berubah. Suatu hal yang sungguh diluar pemikiran-pemikiran mereka berdua. Hari ini Zahra merasa sangat sedih. Sedih di dalam segalanya. Sepulang dari sekolah ia sesegera mungkin pergi ke tempat favoritnya. Kali ini ia mengambil tempat di dalam sebuah gedung tua itu. Karena akhir-akhir ini cuaca sedang tak bersahabat. Ia mengambil posisi duduk yang memang sepi. Inilah yang ia suka, menyendiri. Menumpahkan segala beban hidupnya. Sayup-sayup terdengar langkah kaki. Zahra langsung memperhatikan sekitar, berusaha tuk menyembunyikan semuanya. Berusaha agar tak ada orang yang tau akan hal yang sedang dialaminya. Dari balik rak buku, tak jauh dari tempat Zahra menyendiri, berdiri seorang anak laki-laki tengah memperhatikannya. Perlahan ia mencoba memberanikan diri tuk menghampiri Zahra.
“Hai Ra, akhir-akhir ini kamu beda sih. Jauh beda loh. Walaupun kita tak pernah berinteraksi, aku sungguh merasakan perubahanmu. Tapi kamu hebat. Kamu bisa menutupi semua itu dengan tawamu yang mampu menghibur. Padahal aku yakin, kamu pun sedang membutuhkan hiburan itu. Tapi kamu selalu mencoba dan terus mencoba menutupi semuanya. Sakit memang, Tapi kamu mampu melakukan itu. Kamu memang perempuan yang kuat…”, ucapnya lirih. ”Ngapain kamu di sini? Penting gitu? Sudahlah, menjauh dariku kamu nggak perlu sok tau urusan ini. aku lagi ingin sendiri.”, jawabnya terbawa emosi. “Bukannya aku sok tau atau apalah.. Tapi, kamu nggak boleh terus-terusan kaya gini. Kamu bisa tertekan, depresi.”, jawabnya dengan penuh perhatian. “Cukup Ray. Nggak usah banyak bicara. Aku lagi ingin sendiri.”, hentaknya. “Yah, aku minta maaf. Tapi aku…”, Ucap Ray tak melanjutkan kata-katanya. “Apa perlu aku ngomong sekali lagi??”, Dengan nada yang tinggi. “Yah okeh, aku pergi sekarang. Menahan tangis hanya akan membuat dirimu semakin tertekan. Jadi luapkan semuanya. Nanti, kalau suasana haimu sudah sedikit tenang. Kamu bisa bercerita kepada orang yang tepat. Yang tentunya menurutmu. Baik baik di sini, aku pulang duluan.” langkah kakinya semakin menjauh.
Zahra kembali mengingat kata-kata yang telah Ray ucapkan padanya. Ternyata Ray yang nyebelin bisa bersikap sungguh dewasa seperti itu. Bahkan Ray mengerti betul apa yang tengah Zahra rasakan. Dan semua yang Ray ungkapkan semuanya benar. Beribu pertanyaan pun menari-nari diangan Zahra. Bagaimana mungkin tidak? Ray, seseorang yang baru ia kenal bisa tau semua kebiasaan yang ia lakukan, sampai hal kecil pun Ray tau. Sejenak Zahra pun berpikir, ternyata Ray yang selama ini ia anggap sosok yang nyebelin seketika berubah menjadi pengertian.
Sejak kejadian itu, interkasi antar keduanya menjadi lebih sering. Bahkan keduanya pun mulai dekat. Dekat dalam hal persahabatan. Kejadian di gedung tua itu merupakan awal mula Zahra mengenal sosok Ray yang sesungguhnya. Sejak saat itu, mereka saling berbagi cerita. Sebuah cerita yang di dalamnya mampu menghasilkan solusi. Dan mampu menjadikannya menjadi jauh lebih baik. Gedung tua itu merupakan saksi persahabatan mereka terjalin, seutuhnya.
Hingga suatu saat Ray mengajaknya menuju gedung tua itu. Akan ada hal yang sepertinya penting untuk dibicarakan bersama. Sebuah cerita yang membutuhkan sebuah solusi yang tepat. Ray pun memulai pembicaraan.
“Ra, gimana sih rasanya saat kita kehilangan benda yang amat sangat berharga?” tanya Ray. “Yang pasti, ada rasa nyesel. Tapi selebihnya aku tak dapat mengungkapkannya lewat kata-kata. Sepertinya kamu telah kehilangan sesuatu.”, jawabnya. “Ya, aku memang telah kehilangan sesuatu. Sudah lama memang. Entah, di manakah keberadaannya saat ini. Apakah dia sudah menghilang? Tapi aku sangat berharap benda itu masih bisa kembali di genggaman tanganku”, jawabnya dengan penuh keyakinan. “Seberapa pentingnyakah buku itu?”, tanya Zahra meyakinkan. “Buku itu amat sungguh berharga Ra…”, tiba-tiba air mata Ray jatuh.
Ray ingat akan benda yang hilangnya itu. Sebuah benda yang memang sunnguh berarti baginya. Sebuah buku coklat bersampulkan coretan-coretan indah karyanya sendiri. Sebuah buku pemberian dari sang Ayah. Sebuah buku tentang perjalannya. Sebuah buku tentang perjuangannya. Sebuah buku kecil yang begitu tebal. Sebuah buku yang hampir seluruhnya sudah ternodai oleh coretan-coretan hidupnya. Hanya tinggal beberapa lembar untuk menggantinya dengan buku baru. Tapi pada kenyataannya, buku itu tidak hilang. Hanya saja buku itu tengah berada di genggaman tangan orang lain. Seseorang yang berada di sampingnya saat ini. Zahra. Buku itu telah lama dipegang oleh Zahra. Sengaja ia menyimpannya. Karena memang ia suka akan desain sampul buku itu. Sampai kapan pun ia tak akan pernah berani tuk membuka buku itu walaupun hanya di lembar pertama. Kini, Zahra telah mengetahui pemiliknya. Ia akan segera mengembalikannya, tentunya menunggu waktu yang tepat. Hanya saja pemilik buku itu tak mengetahui ternyata keberadaan bukunya ada di tangan seseorang yang di sampingnya saat ini.
“Kenapa kamu malah nangis gitu, usap air matamu. Malu tau diliat banyak orang. Masa cowok nangis, hanya karena kehilangan benda? Nggak lucu lah..”, ucapnya seraya menghibur sambil menyerahkan sebuah tisu. “Tapi.. buku itu sangat berharga Raa… ”, ucapnya begitu lirih. “Iya, aku ngerti. Sunnguh, aku pernah liat buku itu. Minggu lalu. Hanya sajaa…”, sengaja Zahra tak melanjutkan kata-katanya. “Sungguh? Bantu aku tuk kembali mendapatkan buku itu”, ia bermohon kepada Zahra. “Aku pasti akan membantumu, aku akan mencoba mengingatnya kembali. Tentang di mana terakhir kali aku liat”, jawabnya.
Ya, kini Zahra tinggal cari waktu yang tepat tuk mengembalikan buku itu. Sesampainya di rumah, ia mencari buku itu. Dan, buku itu masih tersimpan rapi di rak bukunya. Tiba-tiba saat hendak mengambil buku itu sebuah kertas kecil jatuh di antara selipan buku itu. Ia mencoba membukanya “Teruntuk, anak ayah tersayang RAFA AL-HAFIDZ 8 SEPTEMBER 1999.” Sebuah kertas kecil. Ternyata buku itu hadiah ulang tahun dari ayahnya. Benar saja, dia selalu menganggapnya istimewa. Tiba-tiba pandangan mata Zahra tertuju kesebuah kalender. 7 september. Itu artinya besok. Besok Ray akan berulang tahun. Ia akan memberikan buku itu kepadanya esok hari. Tentunya dengan cara yang tidak biasa.
Esok harinya di sekolah
Mendatangi Zahra, “Ra, gimana kamu udah inget akan buku itu?”. “Penting gitu buatku. Tau nggak gara-gara aku kepikiran buku kamu itu yang katanya ISTIMEWA. Aku jadi ceroboh. Fatal tau nggak. Berantakan!! marah Zahra. “Hahahha, nggak lucu tau nggak” jawab Ray. “AKU SERIUS!!” jawabnya dengan lantang. Zahra langsung pergi meninggalkan Ray.
Seketika itu juga Zahra tak berinteraksi sedikitpun dengan Ray. Walaupun Ray mencoba dan terus mencoba untuk minta maaf, tetapi percuma. Zahra tak memberi respon. Hari itu Zahra benar-benar ingin membuat Ray marah. Nampaknya, taktik Zahra berhasil. Ia berhasil membuatnya kesal. Ia yakin, disaat seperti itu Ray akan pergi ke gedung tua itu. Dan Zahra akan mengembalikan buku itu dimana ia menemukan buku itu.
Pulang sekolah
Ia bergegas menuju gedung tua itu. Ia yakin, pasti Ray akan pergi ketempat itu juga. Benar saja sesampainya di sana Ray tengah menangis, di sudut sebuah gedung itu. Seorang diri. Zahra pun muncul dari belakang seraya mengucapkan sesuatu. “Menahan tangis hanya akan membuat dirimu semakin tertekan. Jadi luapkan semuanya. Nanti, kalau suasana haimu sudah sedikit tenang. Kau bisa bercerita kepada orang yang tepat”, Ray langsung menengok ke belakang, “Zahraaa..”, isaknya. “Luapkan semua tangismu, kawan..” Zahra berusaha mendekat dan duduk di samping Ray. Sejenak ia meluapkan semua sesak yang megganjal hatinya. Ray pun mengusap air matanya.
“Aku ingin membicarakan suatu hal”, ucap Zahra dengan tatapan yang serius. “Apa itu”, tanya Ray. Zahra mengeluarkan bungkusan kecil dari tasnya dan langsung memberinya kepada Ray. “Maaf, aku belum bisa memberi yang isimewa dihari istimewamu. Sengaja aku pilih tempat ini. Di tempat istimewa ini aku hanya ingin mengembalikan sesuatu yang sangat istimewa bagimu. Maaf karena aku baru bisa memberinya sekarang.”, ucapnya begitu lembut. “Selamat ulang tahun sobatku yang nyebelin, maaf atas perbuatanku sewaktu di sekolah. Sengaja aku lakukan itu. Karena aku ingin memancingmu tuk datang ke gedung ini tempat yang istimewa bagi kita. Saksi bisu perjalanan persahabatan kita”, lanjutnya. Ray langsung menerima pemberian itu dan langsung membukanya. “Jadii… selama ini…”, ungkapnya dengan sisa-sisa isak tangis. “Buku ini tidak hilang, seminggu sebelum awal pertemuan kita, aku menemukan buku ini di tempat ini. Tepat di tempat ini. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku tak berani walau hanya membuka lembaran pertama buku ini. Apalagi sampai tega tuk membacanya”, jawabnya dengan penuh kejujuran. “Lantas, buat apa kamu menyimpan buku ini terus-terusan tanpa mengembalikan kepada pemiliknya?”, tanya Ray heran. “Bagaimana mungkin aku mengembalikan kepada pemiliknya, sedangkan di buku ini tak sedikitpun tertuliskan identitasnya. Aku baru tahu ini milikmu, kemarin. Itu pun kerena kamu meceritakan kepadaku. Andai saja kamu tak pernah menceritakan itu, buku itu tak akan sampai di tanganmu saat ini”, tambanya. “Okeh, makasih semuanya sobatku.” Jawab Ray. Air matanya kembali mengalir, tapi ini adalah sebuah air mata kebahagiaan. Bahagia karena ia telah menemukan kembali buku itu. Buku yang selalu dianggapnya sangat istimewa. Kembali berada di tangannya dihari yang istimewa. Sama halnya dengan seseorang yang telah menyimpannya. Seseorang yang di sampingnya. Seseorang yang telah dianggapnya istimewa. Zahra.
“Terimakasih atas semuanya Raa, Gedung tua ini akan tetap menjadi saksi eratnya persahabatan kita. Dari awal kita bertemu, awal kita saling menyapa, hingga hari ini, esok dan selamanya..”, Ucap Ray dari hati yang paling dalam.