YASTI

Adds

Rabu, 12 April 2017

Manusia Setengah Dewa

Manusia Setengah Dewa

Judul Cerpen Manusia Setengah Dewa
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta


“Mama, berangkat dulu ya. Sudah kesiangan ni, assalamu’alaikum”, pamitku lalu berlari karena jarum panjang arlojiku sudah mengarah ke angka 9.
“Walaikumsalam, hati-hati, Chan”, sayup-sayup terdengar ucapan Mama saat aku sudah sampai di halaman.
Segera ku masuk mobil dan menyuruh pak sopir untuk lebih cepat nyetirnya. Mengingat lima belas menit lagi gerbang sekolah akan tutup. Meski hanya butuh sepuluh menit mobil melaju dari rumah ke sekolah, tapi sisa lima menit serasa dua menit.
“Pak, lebih cepat dari biasanya ya. Soalnya sudah jam tujuh kurang seperempat nih”, pintaku pada Pak Tarjo sopir yang biasa mengantar jemputku ke mana saja.
“Baik, Non. Dipakai sabuk pengamannya, Non”.
Kali ini Pak Tarjo tidak samapi sepuluh menit sudah memberhentikan mobilnya di depan gerbang SMA Bunda Pertiwi. Cepat-cepat aku turun dari mobil dan berlari ke kelas. Huh! Lelah juga, keluhku.
“Eh, Chantika. Kok tidak biasanya kamu baru datang di jam sudah mepet seperti ini, ada masalah ya?” tanya Lia teman satu bangkuku.
“Ah, entahlah. Yang jelas aku tadi bangun kesiangan, padahal alarmku juga bunyi. Masa bodoh, yang penting gak telat”.
Tett.. tetttt.. Bel berbunyi dengan nyaring menyuruh dengan tegas supaya semua siswa segera masuk kelas. Sebelum guru datang, segera kukeluarkan buku dari tas merah jambu yang masih digendonganku ini.
“Chan, aku dengar katanya di kelas kita akan ada murid baru. Katanya sih pindahan dari Jakarta”, celetuk Lia.
“Cowok atau cewek?” tanyaku datar.
“Katanya cowok, semoga saja orangnya ganteng dan baik hati” Lia mulai ngelantur.
Aku cuek saja dengan ucapan Lia. Kupusatkan pikiranku pada bacaan yang tertulis di buku catatan Sosiologi yang ada di hadapanku.
Tiba-tiba teman-teman yang tadinya saling ngobrol mendadak diam dan duduk di bangku mereka masing-masing. Ternyata Bu Astuti selaku guru BK masuk bersama seseorang di belakangnya. Mungkin ini yang katanya siswa baru, ucapan itu keluar dari mulut teman-temanku. Bahkan aku juga berpikir sama dengan mereka.
“Selamat pagi, anak-anak”, sapa Bu Tuti.
“Pagi, Bu”.
“Pasti kalian penasaran siapa yang ada di samping ibu sekarang, iya apa tidak?” tanyanya.
“Iya, Bu”.
“Dia adalah siswa baru yang akan menempati kelas ini juga. Tolong perkenalkan dirimu, nak”.
“Baik, Bu”, jawab anak itu.
Ganteng ya. Sepertinya dia orang yang mudah akrab. Kalau dilihat dari penampilannya, dia itu orang yang pandai. Ocehan lirih teman-temanku masuk ke dalam gendang telingaku.
“Hai, perkenalkan nama saya Rio Adi Saputra. Panggil saja Rio. Saya berasal dari SMA 45 Jakarta. Sekarang saya tinggal di Desa Bunga Mekar yang tidak jauh dari sini”, jelasnya.
Hah, Desa Bunga Mekar? Itu kan nama desaku, berarti Rio murid baru ini satu desa denganku. Kira-kira ia tinggal di dusun mana ya, ah nanti aku dikiranya terlalu kepo lagi. Kuurungkan niat untuk menanyakan hal ini padanya.
“Apakah ada yang akan bertanya?”, tanya Rio.
Terlihat Intan mengajungkan tangannya.
“Apa alasan kamu sehingga pindah ke sekolah kami?” tanyanya.
“Emm, karena kedua orangtuaku pindah ke sini untuk menjaga dan merawat kakek dan nenek. Jadi aku harus ikut dengan mereka”, jawab siswa baru itu.
Karena tidak ada yang bertanya lagi, lalu Bu Tuti menyuruhnya untuk duduk bersama Riyan yang memang duduk sendiri. Setelah dirasa selesai, Bu Tuti kembali ke ruang BK. Tak lama kemudian, guru mata pelajaran sosiologi datang.
“Selamat datang untuk Rio”, ucap Pak Anton.
“Terima kasih, Pak”, jawab Rio dengan begitu sopan.
Sekarang pelajaran sudah dimulai dan Rio terlihat begitu antusias mengikutinya. Nampaknya ia memang anak yang pandai, baru pertama ia masuk ia sudah begitu berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh setiap guru. Aku menjadi salut melihat laki-laki seperti dia.
Ketika jam istirahat, aku dan Lia ke kantin untuk membeli makan. Aku merasa sedikit kesal karena kursi sudah penuh, tapi mataku melihat ke arah kursi yang hanya diduduki oleh seorang siswa laki-laki. Entah dia siapa, aku juga kurnag tahu karena mataku hanya bisa melihat punggungnya. Lalu aku dan Lia pergi menghampirinya.
“Hai, bolehkah kami makan dan duduk di sini bersama anda?” tanyaku ragu-ragu.
Aku terkejut saat melihat wajah laki-laki ini. Ternyata dia Rio, pantas saja aku merasa tidak begitu asing.
“Ternyata kamu, Rio. Boleh gabung kan?” tanya Lia.
“Oh, silahkan. Sepertinya kita satu kelas ya?” tanyanya.
“Betul sekali”, jawabku.
Aku merasa nyaman makan bareng Rio. Dia itu orangnya ramah, familiar, tidak sombong, pokoknya semua sifat baik sepertinya dikuasainya. Selesai makan kamipun menuju kelas bersama. Sejak kejadian ini aku, Lia dan Rio menjadi lebih akrab. Bahkan kami bertiga sering belajar kelompok bersama. Tapi sampai sekarang aku dan Lia belum pernah ke rumah Rio, katanya neneknya sedang sakit jadi ia tidak memperbolehkan kami ke rumahnya. Ia takut kalau kami belajar dan mengobrol, bisa mengganggu istirahat neneknya.
Sering berjalannya waktu, aku dan Rio juga semakin dekat. Kami sering jalan bareng, ke kantin bareng, ke perpustakaan bareng. Sepertinya setiap hariku selalu dekat dengannya.
Kringgg.. telingaku mendengar nada sms dari ponsel yang kuletakkan di atas meja belajar. Ternyata Rio mengajakku jalan-jalan. Kemudian kuputuskan untuk meneleponnya.
“Halo, Rio. Benar atau bohongan jalan-jalannya?”, tanyaku memalui udara.
“Halo, Chatika. Benar, dong. Sejak kapan Rio berbohong pada Tika?”
“Kalau begitu aku ganti baju dulu ya, nanti aku tunggu di teras”, kataku.
“Oke, jangan lama-lama ya”, pinta Rio.
“Oke”, kututup teleponnya dan berbegas ganti baju.
Belum ada lima menit setelah percakapan kami di telepon tadi, Rio sudah sms katanya ia sudah di halaman. Kutengok melalui jendela kamarku yang memang terletak di lantai dua, ternyata ia memang tidak bohong. Aku jadi heran dengan Rio, setiap mempunyai janji denganku belum ada sepuluh menit ia pasti sudah sampai di depan rumahku bersama mobil merahnya. Jangan-jangan dia punya kekuatan super lagi. Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. “Maaf ya menunggu lama. Kenapa sih kamu itu selalu datang cepat pake buangettttt?” tanyaku penasaran.
“Masa sih?”
“Beneran deh”.
“Nanti saja ngobrolnya, keburu sore”, ini ni yang membuatku kesal dari Rio. Ia selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku menanyakan hal yang sama.
Anehnya lagi, aku selalu lupa dengan pertanyaan itu jika sudah asyik ngobrol dengannya. Aku pun tidak tahu mengapa aku merasa begitu nyaman setiap dekat dengan Rio. Jangan-jangan aku sedang jatuh cinta, pikirku.
“Kita mau ke mana sih? Kok jauh banget”, tanyaku karena sejak tadi belum sampai-sampai.
“Mau ke taman yang banyak bunga mawarnya, hehehe”.
Jawaban Rio tiba-tiba membuatku tersenyum, wajahku terasa berseri-seri. Kenapa aku tiba-tiba menjadi kege-eran begini ya. Khayalanku berhenti ketika Rio memberhentikan mobilnya. Sungguh aku takjub dibuatnya, saat kupandang ke luar jendela mobil terhampar mawar berbagai warna yang sangat indah. Yang tadinya aku kira Rio cuma bercanda, ternyata itu beneran.
“Waow, indah sekali bunga mawarnya”, kagumku berkali-kali.
“Keluar yuk, kita lihatnya lebih dekat saja”, ajak Rio.
Sebelum aku keluar, ia buru-buru untuk membukakan pintu mobilnya untukku. Aku jadi merasa sedikit canggung dengannya, kok dia jadi perhatian banget ya.
“Kita ke sana saja ya?” ajaknya seraya menunjuk ke arah gerombolan mawar merah.
“Baiklah”.
Setibanya di temapt yang Rio maksud, lalu kami duduk berdua di bangku yang memang sudah tersedia. Mereka yang mengunjungi taman ini kebanyakan pasangan sejoli. Mungkin tujuan dibuatnya untuk para remaja, pikirku.
“Gimana, indah kan pemandangannya?”
“Indah banget, kamu kok tahu ada taman seindah ini? Kamu kan orang baru di sini”, tanyaku heran.
“Nggak penting apa alasannya kenapa aku bisa tahu tempat seindah ini. Yang jelas aku gak bakal tahu jika bukan karena kamu”, jawabnya.
“Maksud kamu?” aku jadi bingung mendengar jawaban Rio.
Tiba-tiba Rio duduk berlutut di hadapanku. Hal ini membuatku semakin tidak mengerti dengan maksud Rio.
“Tika, sudah lama aku pendam rasa ini. Tepatnya sejak pertama kita ngobrol di kantin dulu”, kata Rio.
“Maksud kamu?”
“Maukah kamu menjadi seseorang yang lebih dari sahabat untukku? Aku sayang sama kamu, Chantika”, ucap Rio seraya memegang tangan kedua tanganku.
Aku bingung mau jawab apa. Meski sebenarnya hatiku mengatakan yang sama, tapi bagaimana aku mengungkapkannya. Kupejamkan mata berharap bisa menemukan sesuatu.
“Rio, terima kasih atas semua perhatian yang selama ini kamu berikan padaku. Segala bantuan yang kamu berikan juga sangat bermanfaat untukku. Aku juga sayang kamu, Rio”.
Nampak wajah Rio begitu senang mendengar jawaban dariku. Aku pun segera hanyut dalam pelukan hangatnya. Di tengah hamparan mawar merah, cinta pertamaku tumbuh dengan pelan.
“Eh, nak Rio. Masuk, Nak. Sebentar ya, Tante panggil Chantik dulu. Duduk saja, biasa saja di rumah Chantika ya”, kata Mamaku ketika Rio datang ke rumah.
“Iya, Tante. Terima kasih”, dengan begitu sopan Rio menjawab perkataan Mama.
Mama berjalan menuju kamarku dan menyuruhku untuk segera ke bawah.
“Benarkah? Mama tidak bohong kan?” tanyaku.
“Tidak, Tika. Cepat turun, kasihan Rio menunggu di bawah sendirian”, perintah Mama.
Aku pun segera menuruni satu persatu anak tangga untuk menghampiri kekasihku. Mataku menagkap sesosok yang aku sayangi itu sedang duduk di sofa ruang tamu.
“Sudah lama ya?” tanyaku tiba-tiba sehingga mengagetkannya.
“Enggak kok, kamu lagi belajar ya?”
“Enggak juga, cuma sekedar membaca buku sejarah yang aku pinjam dari perpusatakaan kemarin”, jawabku seraya duduk tidak jauh darinya.
Kami lalu ngobrol dengan canda tawa. Tapi kami tidak sepenuhnya membicarakan hal-hal yang tidak penting, aku dan Rio lebih membahas tentang rencana pendidikan setelah SMA, pekerjaan apa yang dilakoni, dan lain lain. Ini karena Rio lebih suka membahas hal yang berkaitan dengan pendidikan dan bisnis.
Tak terasa dua jam berlalu, mengingat waktu sudah sore Rio pamit untuk pulang.
“Jangan lupa nanti malam belajar ya”, pesan Rio.
“Emm, oke. Mari aku antar sampai depan”.
“Lho, tumben kamu gak bawa kendaraan?” tanyaku ketika tidak melihat kendaraan Rio terparkir di halaman.
“Sekali-kali jalan kaki”, jawabnya singkat.
“Hati-hati ya, nanti kalau sudah sampai di rumah jangan lupa sms aku”.
“Siap. Eh, sepertinya kamu dipanggil Mama kamu deh?”
“Sepertinya iya, kalau gitu sampai jumpa besuk ya. Daaaa..” aku menuju ke belakang karena dipanggil Mama.
Sepeluh menit belum berlalu, satu sms dari sudah kubaca. Ia memberitahuku kalau dirinya sudah sampai di rumah dengan selamat.
“Rio sudah pulang, kalau begitu Mama sia-sia manggil kamu”, kata Mama.
“Memangnya ada apa, Ma?”
“kalau begitu kamu saja yang mengantarnya ya, ini kue pesanan Bu Mirah. Anaknya Nek Ummi yang baru pindah beberapa bulan yang lalu itu lo”, Mama malah memerintahku tanpa menjawab pertanyaanku dulu.
“Oh, Tika tahu kok, Ma”.
Kakiku segera berjalan menuju rumah Nenek Ummi yang jaraknya kira-kira hanya 150 meter dari rumah. Tokkk.. tokkk.. Sesampainya di depan pintu, berkali-kali kuketuk pintunya. Sayup-sayup terdengar langkah menuju pintu, tak lama kemudian seseorang membuka pintunya. Seorang wanita cantik sekitar 30 tahunan muncul dari balik pintu. Aku rasa ini yang Mama maksud anaknya Nenek Ummi, Bu Mirah.
“Saya Chantika, Tante. Anaknya Bu Anik pembuat kue di gang sebelah”.
“Oh ini ya yang namanya Chantika, masuk dulu”, ajaknya sembari menerima kue yang kuberikan.
“Terima kasih, Tante. Sudah sore, saya pulang saja. Lain kali saya main ke sini”, jawabku.
Sebelum aku pergi terdengar suara laki-laki dari dalam, sepertinya anaknya Bu Mirah.
“Siapa, Ma?” dan suara langkahnya semakin dekat.
Betapa terkejutnya aku ketika laki-laki yang keluar itu Rio. Rio yang barusaja ke rumahku. Jadi Rio anaknya Bu Mirah, cucunya Nek Ummi. Pantas saja rumahnya sedekat ini, yang tadinya aku pikir dia jelmaan dewa seperti kisah-kisah di dongeng ternyata ini jawabannya.
“Rio?” aku keheranan.
“Lhah, Chantika. Ada apa kok sore-sore datang kemari?” tanyanya.
“Jadi di sini rumah kamu?”
“Bukannya kalian sudah berteman lama, kata Rio kalian satu kelas. Chantika kenapa baru tahu kalau ini rumah Rio?” Bu Mirah juga heran melihat tingkah anehku.
“Maaf, Bu. Rio tidak pernah bercerita kalau ia itu cucunya Nek Ummi”, jelasku.
“Masuk dulu, Tik. Sekarang kamu sudah tahu rumahku kan?” ledeknya.
Tanpa mempedulikan ledekan Rio, aku akhirnya luluh dan masuk ke dlam rumahnya.
“Tahu gak, aku pikir kamu itu bukan manusia lo”, ku mulai perbincangan dengannya setelah Bu Mirah meninggalakan kami berdua.
“Enggak, aku nggak tahu”, jawab Rio yang membuatku semakin kesal.
“Aku pulang saja deh, kamunya gak asyik gitu”.
“Eeiittsss, jangan gitu dong. Kalau cemberut manisnya hilang lo”, ternyata dibalik keseriusan Rio, dia bisa membuat gombalan juga. Batinku.
“Memangnya kenapa kok kamu bisa mikir kalau aku bukan manusia?” tanyanya.
“Habisnya setiap mau ke rumahku, belum ada lima menit sudah siaga di depan pintu. Tadi juga, padahal kamu jalan kaki masa belum ada sepuluh menit kamu bilang sudah sampai di rumah”.
“Kalau begitu sore ini aku bikin kejutan dong buat kamu”, candanya.
Tawa yang sejak tadi kutahan akhirnya pecah. Tapi aku berusaha untuk mengeluarkan tawaku sepelan mungkin, mengingat ada kakek dan neneknya yang sudah tua. Selain itu, aku kan di sini sebagai tamu.
“Aku pulang ya, nanti Mamaku khawatir dikiranya aku belok jalan”.
“Emm, iya manis. Hati-hati lo ya”, Rio mengantarku sampai pintu gerbangnya.
Di tengah senja yang mulai menyapa, kutemukan teka-teki yang selama ini menjadi tanda tanya besar dalam diriku. Bersama redup sinar mentari, akhirnya kudapatkan jawaban bahwa Rio bukanlah manusia setengah dewa yang bisa menjelma dan mempunyai kekuatan teleportasi sehingga bisa berpindah tempat secepat sambaran kilat. Ternyata ia hanyalah manusia yang sama denganku, yang memang tinggal sebagai tetanggaku.