YASTI

Rabu, 12 April 2017

Ketika Hati Harus Memilih

Ketika Hati Harus Memilih

Judul Cerpen Ketika Hati Harus Memilih
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Korea, Cerpen Perpisahan

Lolos moderasi pada: 12 April 2017
Siang ini surya begitu semangat menerangi bumi. Sepulang sekolah kulemparkan tas merahku ke atas kasur. Kurebahkan badanku yang terasa lesu di sofa dekat jendela sembari merasakan dahaga yang menggerogoti tenggorokanku. Kakiku masih begitu berat tuk kuajak melangkah menuju dapur.
Ceklekkk… Pintu tiba-tiba terbuka dan perempuan kecil yang imut masuk mendekatiku dengan segelas jus di tangannya.
“Kak, aku buatin jus mangga kesukaan kakak” ucap Mi Rae seraya menyerahkan segelas jus padaku.
“Memang kamu adik yang perhatian, tahu aja kalau kakaknya lagi kehausan”, kataku sembari mengacak-acak rambut pirangnya.
“Iya dong, Mi Rae gitu loh!”
Dialah adikku yang manis, Park Mi Rae yang biasa dipanggil Mi Rae adalah satu-satunya saudara kandungku. Aku, Park Yoo Rae yang biasa disapa Yoo Rae dan adikku Mi Rae, kami terlahir dengan darah Indo-Korea. Ibuku asli Korea dan ayahku Jawa. Namun kebahagiaan yang sangat kita inginkan tidaklah selalu berjalan lancar sesuai skenario.
Sudah dua tahun belakangan ini ayah dan ibu tidak terlihat akur. Ibuku sering di Korea dan ayah tidak menyusulnya. Bahkan hampir enam bulan Ibu di Korea belum kunjung kembali, aku pun sulit untuk menghubunginya. Entah ada apa dengan mereka, setiap aku tanya pada Ayah selalu saja ia mengalihkan pembicaraan.
“Kak, tadi mama telepon loh”, celetuk Mi Rae dengan wajah berseri.
“Iya? Benarkah?”
“Iya, Mi Rae gak bohong, Kakak. Kata mama, mama ingin kita ke Korea weekend nanti, Kak” jawabnya.
Aku jadi ingat apa yang ayah katakan padaku kemarin sore. Ya, kata-kata yang membuatku sontak menangis dan tidak bisa menerima kenyataan yang harus terjadi. Siapa yang tidak sedih, kesal, berontak, menangis bahkan meledak jika kita diberitahu kalau orangtua kita akan cerai. Inilah yang ayah katakan padaku seusai mandi saat Mi Rae sedang belajar. Sungguh rasanya bercampur aduk jadi satu, aku pun tak ingin tahu apa penyebab perceraian ini. Ayah juga bilang kalau mama akan mengajukan hak asuh anak dan kemungkinan besar akan berhasil. Tidak! Mungkinkah aku dan Mi Rae disuruh ke Korea karena ini? Tidak! Aku tidak ingin pisah dengan ayahku.
“Kak, kok gak direspon sih? Kok aku dikacangin?” Mi Rae menggoyang-goyang tubuhku dan membuyarkan lamunanku.
“Mmmmm, iya iya. Kita tanya ayah dulu ya”, jawabku.
“Oke, Kak. Tapi sebenarnya Mi Rae sangat ingin ke Korea, Kak. Mi Rae kangen sama mama, kakek nenek dan saudara semua yang ada di Korea”, katanya.
“Kakak juga kangen, Mi Rae. Tapi kita harus tanya sama ayah dulu, Korea kan jauh”, bujukku setelah menghabiskan segelas jus mangga buatannya.
“Baiklah, Kak. Mi Rae ke bawah ya, Kak. Mau nonton tv, kalau sudah habis sekalian aku bawakan ke dapur gelasnya, Kak”.
“Memang kamu adik yang baik”, kucium pipi imut adikku lalu kuserahkan gelas ini padanya.
Kini aku diam sendiri di atas sofa dengan pikiran tertuju pada perkataan ayah kemarin dan aku kaitkan dengan ajakan mama untuk ke Korea. Ah, bagaimana kalau hak asuh Mi Rae di tangan mama dan aku, aku tergantung pada keputusanku karena umurku yang sudah 18 tahun. Bagaimana kalau Mi Rae di Korea sedangkan aku ingin tetap di Jakarta, pastinya aku akan merindukan canda tawanya. Entahlah aku tak tahu.
Kutengok jam dinding sudah menunjuk pukul 21.00, tapi Ayah kok belum pulang ya. Biasanyakan jam segini sudah pulang.
“Kak, aku mau tidur dulu ya”, pamit Mi Rae.
Kuanggukkan kepalaku sebagai tanda setuju dan kulanjutkan menonton drama China yang berjudul Loving Never Forgetting.
Lima belas menit sudah berlalu, ayah belum kunjung pulang. Kuputuskan untuk menuju pulau kapuk karena mataku sudah mulai lengket. Baru sekitar lima menit ku pejamkan mata, terdengar suara salam ayah.
“Assalamu’alaikum.. Yoo Rae.. Mi Rae.. Apa kalian sudah tidur, kok sepi sekali?”
“Wa’alaikumsalam, Yah. Mi Rae sudah tidur, Yah. Ayah kok baru pulang?” aku keluar dari kamar dan menghampiri Ayah.
“Maaf Yoo Rae, pasti kamu dan adikmu menunggu Ayah ya? Ayah tadi ada rapat mendadak” sementara aku berjalan menuju dapur untuk membuat segelas kopi dan merebus air untuk mandi ayah.
“Ini kopinya, Yah. Yah, tadi Mi Rae ngomong sama aku katanya sebelum aku pulang dari sekolah, tadi siang mama telepon. Mama menyuruh kami untuk ke Korea weekend nanti, bagaimana menurut Ayah?” aku mulai bicara pada intinya.
Namun Ayah justru diam seribu bahasa.
“Yaahhhhh!” panggilku sedikit keras sehingga membuatnya terkejut. “Apa Ayah sudah tahu rencana mama untuk menyuruh aku dan Mi Rae ke Korea?” tanyaku lagi.
Lalu Ayah menyeruput kopi buatanku, “Sudah selayaknya Ayah memberitahumu semuanya yang telah terjadi, Rae. Aku pikir kamu sudah mampu menerimanya mengingat umurmu yang sudah dewasa”.
Aku jadi bingung dengan yang dikatakan Ayah baru saja. Apa yang dimaksudkan Ayah ini? Pikirku.
“Sebenarnya Mamamu tiga hari yang lalu ke Jakarta, Rae. Ia menghadiri sidang keputusan perceraian sekaligus sidang hak asuh anak”.
“Kenapa Ayah tidak bilang sama Yoo Rae, lalu Mama menginap di mana, Yah? Kenapa Mama tidak mampir ke rumah?” aku bertanya tiada henti.
“Mamamu menginap di hotel dan kami resmi bercerai, Rae. Maafkan ayah juga mamamu karena tidak bisa mempertahankan keluarga ini. Maafkan ayah Yoo Rae”, perlahan Ayah mulai menangis di hadapanku.
“Lalu bagaimana dengan hak asuh, Yah? Mi Rae dan aku ikut ayah di Indonesia kan? Yah, jawab, Yah!”
Terdengar begitu jelas tarikan panjang napas Ayah.
“Hak asuh Mi Rae berhasil dimenangkan oleh mamamu, sementara kamu itu tergantung pada keputusanmu sendiri, Rae”, kata Ayah lemas.
Kini aku yang mendadak tak bertenaga. Hah, apa? Apa yang akan terjadi denganku jika aku jauh dengan Mi Rae, apa yang harus aku katakan. Bersama ayah atau mama? Sebenarnya aku lebih nyaman di Indonesia bersama ayah, namun aku tak ingin berpisah dengan Mi Rae dan aku pun sejak dulu ingin tinggal di Korea dengan dikelilingi teknologi dan pendidikan. Ini sungguh membuatku bingung.
“Yoo Rae, kenapa kamu melamun?”
“Enggak kok, Yah. Aku cuma bingung aja”, jawabku.
“Apa yang harus bingungkan, kamu tinggal pilih bersama ayah atau mama. Itu saja Yoo Rae. Kamu kan pernah bilang sama ayah, kalau kamu ingin kuliah di Korea, iya kan?”
Kuanggukkan pelan kepalaku, “Iya, Yah. Meskipun tinggal mengatakan, tapi ini sulit Ayah”. Aku diam sejenak.
“Kalau aku ikut ayah di sini, aku harus jauh dengan Mi Rae yang menggemaskan juga dengan mama yang cantik itu. Tapi kalau aku putuskan untuk ikut mama di Korea, siapa yang akan menyiapkan sarapan, air hangat, kopi, mencuci dan menyetrika baju Ayah?” tambahku panjang lebar.
“Bagaimana nanti kalau aku rindu Ayah?” keluhku lagi.
“Kamu jangan risaukan ayah, Yoo Rae. Kan masih ada adik ayah yang tinggal sama nenek dan saudara lain di sana. Daripada mereka nggerombol di sana, ayah bisa menyuruh ia dan suaminya untuk tinggal di sini. Masalah baju, jangan juga dirisaukan. Sekarang kan di mana-mana ada laundry, Yoo Rae”, kata ayah sembari mengelus rambutku.
“Ayah tahu, kamu sebenarnya sangat ingin tinggal di Korea sejak kamu kecil dulu”, tambah ayah setelah menghabiskan secangkir kopinya.
Aku tak kuasa menahan air mata, memang benar apa yang dikatakan ayah. Sejak aku kecil aku lebih senang di Korea, namun ayah bersikeras untuk tinggal di Jakarta dengan jalan macetnya ini. Dan sebenarnya sekarang aku sangat merindukan mama, kakek, nenek dan saudara lainnya yang ada di Korea. Lalu bagaimana dengan ayahku? Kebingungan yang sangat meresahkan harus kurasakan saat mataku mulai lelah berkedip.
“Yoo Rae mau tidur dulu ya, Yah”.
“Iya, silahkan. Pikirkan baik-baik Yoo Rae, tapi jangan lupakan sekolahmu”.
Kumatikan kompor terlebih dahulu sebelum menuju ke kamar.

“Kakak yang buat susu dan aku yang menyiapkan roti dan selai ya, Kak” tanya Mi Rae.
“Baiklah”.
Setelah semua siap, aku, Mi Rae dan ayah sarapan bersama. Aku teringat mama saat ia duduk di kursi sebelah ayah. Andaikan mama di sini seperti dulu pasti rasanya lebih lengkap. Mama bisa buatkan kimchi, makanan khas Korea kesukaanku.
“Kakak kok ngelamun aja sih?” Mi Rae sedikit membuatku terkejut,
“Enggak kok, ini kakak juga mau makan rotinya. Siapa bilang kakak ngelamun”.
“Ayah, kami diizininkan kalau weekend nanti ke Korea? Kakak sudah tanya sama ayah kan?” tiba-tiba Mi Rae menenyakan itu ketika aku mulai tenang.
“Kalau ayah sih boleh-boleh saja, tergantung Kak Yoo Rae itu bagaimana?” ayah justru balik bertanya.
“Entahlah, kakak masih bingung, Mir. Nanti kalau kakak gak ikut, biar kakak bilang sama mama untuk menjemputmu”, tidak kujelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi karena umur 8 tahun aku rasa belum waktunya untuk ikut menyangga masalah keluarga seperti ini.
“Ah, kakak gak asyik deh”, celetuk Mi Rae.
Setelah selesai sarapan aku mencuci piring lalu bergegas sekolah.
Sepulang sekolah aku masih kepikiran tentang mana yang harus kupilih. Bersama ayah atau mama. Akhirnya kulaksanakan niatku untuk berbicara dengan mama, kuambil ponselku yang ada di tas dan segera mencari nomor teleponnya.
Tuttt.. tuutttt.. Nada sambung sudah terdengar dan tak lama kemudian suara yang diseberang sana menyapaku.
“Yeoboseyo(halo)?” kata orang yang diseberang sana.
“Yeoboseyo, Eomma(halo, mama). Ini Yoo Rae, Eomma(mama). Eomma(mama) pakai bahasa Indonesia saja ya”, pintaku karena kau belum begitu mahir berbahasa Korea.
“Park Yoo Rae, Eomma(mama) merindukanmu. Bagaimana kabarmu sayang?” tanya Mama.
“Aku baik, Ma. Eomma(mama)?”
“Mama dan semua keluarga di sini alhamdulillah juga baik, Rae”, kata Mama.
Aku berbicara langsung pada intinya mengingat pulsaku yang tidak terbilang banyak.
“Baiklah, jika kamu ingin Eomma ke Indonesia untuk menjemput Mi Rae. Tapi, apakah kamu tidak ingin tinggal di Korea dengan Eomma?”
“Yoo Rae masih butuh waktu lagi untuk memikirkan kembali, Eomma. Yang penting Eomma benar-benar mau datang ke Indonesia, selain itu Yoo Rae harap Eomma mau berkunjung ke rumah kakek dan nenek untuk mengucapkan maaf supaya Eomma tidak dipandang begitu jelek di hadapan saudara yang lainnnya”, jelasku.
“Baiklah, Sabtu Eomma datang menepati janji ini Yoo Rae”, kata Mama.
“Gamsahamnida, Eomma(terimakasih, ma). Sampai ketemu hari Sabtu, Eomma. Daaaa, Eomma”.
“Daaa.. Park Yoo Rae-ah”, tutup Mama dengan logat Koreanya.
Akhirnya hari yang kami tunggu tiba. Hari ini Jum’at, 4 Maret tepatnya pukul sepuluh kurang seperempat aku melihat wajah cantik mamaku di Bandara Soekarno-Hatta. Aku dan Mi Rae segera menghampiri dan memeluknya.
“Eommaaaaa…” teriak Mi Rae.
Kami lalu melakukan perjalanan menuju rumah ayah. Setelah mama beristirahat di kamarku, ayah datang dan segera mengajak mama untuk berangkat ke rumah nenek.
“Ma, Mi Rae ikut ke rumah nenek ya?”
“Silahkan, sayang”, jawab Mama.
“Yoo Rae, kamu gak ikut?” tanya Ayah.
“Tidak, Yah. Aku di rumah saja, biar aku ngemasin bajunya Mi Rae saja. Daripada besok terburu-buru”, jawabku.
“Jadi kakak beneran gak ikut ke Korea?”
“Nanti saja bahas yang itu, Mir. Sekarang segera berangkat saja, nanti kalau terlalu sore biasanya macet”.
Malam ini aku makan kimchi buatan mama. Selesai kami makan malam, kuutarakan semua yang sedari tadi ingin kuungkapkan.
“Ma, sebelumnya Yoo Rae minta maaf kalau ini akan membuat Eomma kecewa. Tapi aku yakin, diakhir Eomma pasti akan tersenyum. Untuk Ayah, sebelumnya Yoo Rae juga minta maaf jika di akhir Yoo Rae membuat kecewa Ayah”, ucapku tiba-tiba.
“Maksud Yoo Rae?”
“Iya, maksud kamu apa Rae?” ayah pun bertanya.
“Aku merindukan saat-saat bersama seperti ini Ayah, Eomma. Kenapa harus ada perpisahan di dunia ini?” Mi Rae bingung mendengar perkataanku ditambah lagi aku mulai menangis.
“Kak, jangan nangis dong. Memangnya ada apa?” tanya Mi Rae polos.
Tak kupedulikan pertanyaan Mi Rae yang baru saja lewat.
“Ma, aku sudah memutuskan untuk tidak ikut Mama di Korea. Biarlah Mi Rae saja yang besok berangkat bersama Mama”, kuusap air mataku yang terus mendesak keluar.
“Apakah kamu yakin, Rae?” tanya Ayah serius.
Kuanggukkan kepalaku, “Tapi, Yah. Aku tetap akan melanjutkan keinginanku yang sering ayah katakan tempo hari”.
“Maksud kamu?” sementara Mama dan Mi Rae tak bersuara.
“Aku akan tinggal di Indonesia selama aku masih memakai seragam abu-abu putih ini, Yah. Dan aku memantapkan diri untuk menjadi warga negara Korea setelah aku lulus SMA, karena aku ingin tinggal dan kuliah di Korea. Maafkan Yoo Rae, Ayah, karena tak lama lagi aku meninggalkanmu dan akan hidup bersama Mama. Tapi Yoo Rae janji, Yoo Rae akan sering mengunjungi ayah setelah Yoo Rae mengurus paspor nantinya”, kupeluk erat tubuh ayahku.
“Yoo Rae, apa yang harus ayah maafkan sehingga kamu minta maaf? Jika ini keputusanmu, aku tidak bisa menolaknya, Nak. Ayah yakin, keputusan yang kamu pilih adalah yang terbaik untukmu Yoo Rae”, katanya sembari mengelus rambutku yang memang sedang kugerai.
“Masih juga lama, Kak. Kakak mau ke Koreanya”, sahut Mi Rae.
“Ssssttttt.. jangan asal menyahut Mi Rae”, ucap Mama.
Saat jam dinding menyuarakan pukul sembilan, tanpa kata ayah segera pergi ke kamarnya. Sementara aku, mama dan Mi Rae masih di depan televisi.
“Ma, kakek sama nenek merindukanku tidak?” tanya Mi Rae.
“Iya, dong. Makanya mama mengajak Mi Rae ke sana”.
Aku yang duduk di samping mama pura-pura tidak mendengar percakapan mereka. Dan kulanjutkan nonton drama korea di televisi.
“Kamu belum ngantuk sayang?” tanya Mama pada Mi Rae.
“Sebenarnya sudah, tapi kalau mama belum tidur aku juga gak akan tidur”, jawabnya.
“Kalau begitu kita tidur saja, kakak juga sudah ngantuk Ma”, sahutku.
Kami bertiga tidur satu ranjang di kamarku. Meski berubah menjadi sempit, tapi rasanya tetap nyenyak karena mama yang aku rindukan ada di sampingku.
Seusai sarapan aku mengantar mama dan Mi Rae ke bandara karena hari ini memang hari Minggu jadi aku tidak sekolah. Sementara ayah memilih di rumah untuk mengerjakan tugas kantor, karena ia besok akan ke sekolah Mi Rae untuk mengurus kepindahannya ke Korea.
Sepanjang perjalanan menuju bandara sampai tiba di bandara, wajah Mi Rae selalu terlihat senang sekali. Ia mulai mengkhayal tentang apa yang akan ia lakukan sesampainya di Korea nanti, bagaimana teman barunya di sekolah dan bagaimana ia akan bergaul dengan anak-anak yang tidak mengerti bahasanya.
“Jangan banyak bicara dulu, Mir. Sampai aja belum, udah bingung tingkat ratu”, ledekku.
“Biarin, masbuku? Masalah buat aku!” jawabnya dengan ledekan pula.
Sesampainya di bandara, aku hanya mengantar mereka di luar mobil saja. Aku tidak ingin ikut masuk bandara, aku tidak ingin mereka berangkat dengan menyaksikan linangan air mataku. Kucium tangan lembut mama dan memeluknya.
“Hati-hati, Ma”, ucapku lirih.
Mi Rae meraih tanganku dan menciumnya pula. Kami pun berpelukan.
“Kak, cepat nyusul ke Korea bersama ayah ya”, ucapnya.
Meski sudah kutahan air mata ini, tetap saja mendesak keluar. Sebelum kujawab pertanyaan Mi Rae, terlebih dahulu kusembunyikan tangisku.
“Insya Allah, Mi Rae. Ya sudah, nanti tertinggal pesawat. Hati-hati Mi Rae”.
Lalu mereka melangkah meninggalkanku. Kulambaikan tanganku pada mereka begitu pun mereka.
Kini mama dan Mi Rae telah hilang dari pandanganku. Aku pun kembali masuk mobil dan menuju rumah. Tangisku pecah saat perjalanan pulang dan semakin menjadi saat tiba di rumah. Ya Allah, lindungilah mama dan adikku. Jauhkanlah mereka dari bahaya. Aku berdoa di tengah seruan tangisku.