YASTI

Rabu, 12 April 2017

Matanku Hidayahku

Matanku Hidayahku

Judul Cerpen Matanku Hidayahku
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Islami, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 20 March 2017

Angin pukul tiga sore di balkon lantai tiga gedung kuliah mengantar sebingkis kenangan beserta rindu kepadaku. Lagu lebih indah dari Adera menjadi pengiring film pendek yang menggantung di bulu mataku. Bulan Oktober, tepat tiga tahun lalu untuk pertama kalinya aku patah hati. Aku tersenyum getir.
Namaku Fara bernafas dengan paru-paru seperti kamu, kecuali kalau kamu kuda laut. Usiaku masih empat belas tahun ketika aku bertemu dengan manusia berusia empat belas tahun lain di sebuah bimbingan belajar. Namanya Eja Al-anbiya, seorang pria cerdas berwajah tampan dan makan nasi bukan ikan paus. Kau pun akan jatuh hati bila mengenalnya. Aku dengar ia bersekolah di SMP Islam, sangat jauh dari lokasi bimbel.
Pukul empat sore aku sudah sampai bimbel, lengkap dengan jilbab pertama yang aku beli sendiri. Aku bercerita tentang Eja kepada temanku, aku memintanya mengajariku cara memakai jilbab dengan benar agar Eja tertarik untuk mengenalku. Seperti biasa aku dan Eja duduk di kursi yang berdekatan, sungguh ini bukan rekayasa yang aku buat untuk bisa dekat dengannya. Aku lebih tertarik memperhatikan Eja yang terus bertanya kepada tentor, daripada melihat papan tulis berisikan materi yang sudah aku kuasai. Memperhatikan setiap gerak-geriknya tiba-tiba menjadi hobi baruku, aku bahkan memergokinya mengeluarkan darah dari hidung kemudian berlari ke kamar mandi.
“Ayo sholat maghrib”, ajaknya suatu hari ketika aku masih asyik mengerjakan soal matematika.
“Di sini? Imamnya?”, tanyaku setelah berhasil menekan rasa gugup karena terlalu senang.
“Aku”, bibirnya mengembang memperlihatkan deretan gigi yang tak rata, tapi aku suka.
Kali pertama aku berdiri di belakangnya sebagai makmum. Mendengarkan bacaan solatnya yang merdu menjadi rutinitas baruku, aku suka. Berpura bodoh agar bisa menanyakan beberapa soal kepadanya membuatku benar-benar terlihat bodoh, tapi aku suka.
“Aku lapar”, gerutuku di belakang pintu minimarket.
“Aku lebih lapar, angkringan yuk”, matanya melebar memperkuat kesan antusias.
“Mauuuu”
Nasi berlauk secuil ikan bandeng beserta sambal khas angkringan tiba-tiba menjadi makanan paling enak, karena saat itu aku sedang makan malam bersamanya. Jalan raya Solo-Jogja dihadiahi gerimis romantis ketika aku sedang berjalan bersama Eja untuk kembali ke bimbel. Kami berjalan di pembatas jalan sambil mengangkat tangan membentuk seperti sayap pesawat. Bila kau pikir cahaya merah dan jingga yang menggeliat di atas aspal hitam itu adalah lampu kendaraan, bagiku itu adalah lampion dari Tuhan, romantis.
“Kalian dari mana?”, tanya seorang perempuan berjilbab hitam mengejutkanku.
“Makan”, Eja membenarkan posisi tas di punggungnya.
“Berdua?”
“Dua setengah, tambah dia”, aku menyeringai bangga, dia yang kumaksud adalah teman kami yang berbadan kurus.
“Kok aku ga diajak?”, perempuan itu mengangkat wajahnya.
“Lupa”, jawabku bersamaan dengan Eja.
Perempuan berjilbab hitam itu pun tertunduk lesu, wajahnya terlihat begitu kecewa. Perempuan itu bernama Nurma, entah bagaimana aku bisa tahu kalau ia juga menyukai Eja. Aku akui dia cantik, pintar, dan mungkin akhlaknya lebih merepotkan malaikat Raqib. Nurma satu sekolah denganku, sejak kelas tujuh aku sudah mengaguminya.
Aku bertarung dingin dengan Nurma, tentu untuk memenangkan Eja. Sindiran saling berbalas di halaman facebook hingga hampir satu angkatan tahu perseteruanku dengannya. Rasa kagumku berubah menjadi kesal, kami pun saling diam. Aku tahu Eja mengetahui apa yang terjadi tetapi ia memilih diam.
Satu minggu setelah ujian nasional, dua minggu aku tidak berjumpa dengan Eja maupun Nurma. Tapi tiba-tiba Eja memintaku untuk menjadi pacarnya, aku setuju kemudian menangis senang. Malam itu tanggal enam Mei 2013, aku tahu persis, Nurma sedang menangis di kamarnya, kasihan.
Aku bertemu Eja satu bulan kemudian di bimbel. Ada gempuran gugup yang berusaha aku tutupi ketika melihatnya kala itu, aku tahu Eja juga berusaha untuk bersikap normal. Aku belum pernah merasa seperti itu karena memang Eja adalah pria asing pertama yang membuatku jatuh hati. Aku pun tahu kalau aku juga perempuan pertama untuknya.
“Gimana tadi survey sekolahnya?”
“Sebel”
“Kenapa?”
“Aku dikira bapak yang anter anaknya”
“Haha ibunya siapa?”
“Kamu kan?”
“Ha ha ha”
Aku suka dekat dengan Eja. Banyak hal pertama yang kami lakukan bersama. Seperti ketika Eja pertama datang ke rumahku dengan membawa banyak formulir pendaftara ekstrakulikuler di sekolahnya, ketika aku datang ke rumahnya dan harus menghabiskan tiga jenis minuman. Banyak hal tak terduga yang kami alami bersama, seperti ketika ia memintaku berpura-pura menjadi ibunya untuk datang ke sekolah menemui seniornya. Aku senang ada di dekatnya, maka cukuplah kami berkeliling dengan motor dan mampir ke tempat menarik yang tak jauh dari rumah. Semua itu terjadi secara alami dan membuatku mengerti bahwa aku menyayanginya, selama dia adalah Eja, aku menyayanginya.
“Fara, kamu mau ga jadi pacarku?”, tanyanya suatu hari di bukit sambil memegang tanganku.
“Lagi? Aku kan emang untuk kamu”
“Ya sekali lagi, biar yakin”
“Emang sekarang ga yakin?”
“Takutnya kamu lupa”
“Ha ha ha”
“Mau ga?”
“Mau”
“Alhamdulillah”
“Ha ha ha”
Kami melewati banyak hal menarik bersama. Ketika Eja ulang tahun, aku membuat sekotak kue nastar berbentuk hati dan namanya. Aku menunggu selama hampir tiga jam di depan sekolahnya. Setelah ia menghampiriku, kami pergi ke halaman masjid raya, di sana ia menyanyikan lagi Adera. Aku tidak pernah bisa lupa ketika Eja menangis di bahuku, waktu itu ia sedang merasa dijebak dan di pojokan oleh seniornya. Siapa sangka seorang remaja SMA yang biasa memimpin upacara tiba-tiba menangis. Aku mengusap air matanya dengan dramatis sambil berkata “kalau nangis gantengmu ilang”. Tak lama kemudian kami memutuskan untuk pulang. Aku memegang jaketnya erat, ku letakan daguku di bahunya seperti tak ingin kulepas. Kuamati bibirnya dari kaca spion, masih terliat gemetar meski sesekali tertawa karena kugoda.
Aku tidak tahu bagaimana kemudian kami menjadi dua anak SMA yang sama-sama sibuk. Ia sibuk dengan olimpiade, sedangkan aku sibuk merindukannya. Eja berubah menjadi makhluk yang sulit dihubungi. Sudah lebih dari satu bulan dia tidak meneleponku. Hilangnya Eja membuatku memilih untuk menyibukan diri. Aku bergabung dalam berbagai organisasi di sekolah seperti rohani islam, pecinta alam, KIR, pramuka, dan biologi. Di rohis aku menjabat sebagai bendahara humas. Aku ingat ketika seleksi pengurus rohis.
“Dek kamu punya pacar?”
“Punya”
“Kalau pacaran ngapain aja?”
“Belajar.. Main.. Rindu”
“Kita kan rohis, jadi harus memberi contoh, gimana kalau temenan aja?”
Kalimat itu terus keluar masuk telingaku seperti kereta yang hanya memiliki satu jalur. Beberapa minggu kemudian aku menggertak Eja agar menghubungiku atau putus saja, ternyata Eja tidak menghubungiku. Malam itu di depan rumah saudaraku, mereka sedang misa (kerohanian nasrani), sedangkan aku sedang sedih sebab Eja.
Tidak seperti perempuan yang menangis-nangis ketika patah hati, aku justru menutupinya agar tidak ada yang tahu kalau aku dan Eja sudah putus. Mulai saat itu aku berkumpul dengan teman-teman di masjid setiap sore. Menjadi aktifis yang dianggap sebagai peramai suasana. Jilbabku sudah jauh lebih baik, dan kali ini bukan untuk Eja tetapi untukku dan rabb-ku. Setiap selasa dan rabu aku ikut mentoring, pengajian rutin. Satu bulan sekali kami membersihan masjid, ini adalah kegiatan yang paling aku suka selama menjabat sebagai anggota rohis. Aku sudah tidak merasa sedih setiap mengingat Eja, aku bahagia hidup seperti ini. Sebagai anggota rohis yang kontra-pacaran, aku tidak memandang buruk teman-temanku yang berpacaran dalam batas wajar, karena aku tahu bahagia macam apa yang sedang mereka rasakan, meski bila diminta untuk mengulanginya pun aku tak mau.
Maret 2014 aku menghadiri sebuah acara diskusi. Semua berjalan baik-baik saja sampai tiba-tiba Eja datang dan membuatku berimajinasi bahwa ada cahaya dan bunga keluar dari balik badannya. Eja duduk tak jauh dari kursiku. “Mbak berjilbab merah itu cantik, pasti belum punya pacar”, ucap salah satu pembicara yang mengarah kepadaku. Aku menunduk malu seraya bergumam “orang yang aku cinta ada di sini, lalu untuk apa pacar?”. Kemudian aku melihat Eja tersenyum dari pinggir mataku.
Aku dan Eja bergabung dalam suatu organisasi, itu adalah kesempatan untukku bisa memperhatikan gerak-geriknya lagi. Tak butuh waktu lama untuk kami kembali dekat, dan seluruh anggota organisasi kemudian tahu tentang masa lalu kami. Banyak hal hebat yang kami lalui bersama, kami bertemu tokoh-tokoh ternama seperti Sabar Gorky. Hingga suatu hari Eja kembali memintaku untuk mau menerimanya kembali. Aku mau, sangat mau, tetapi aku tidak lagi mau berpacaran. Yang aku ingat saat itu adalah perbincangan ketika seleksi rohis. Entah apa yang dirasakan Eja saat itu, aku tidak mau menebak. Suatu hari organisasi kami mengalami gangguan besar, hingga akhirnya aku dan Eja harus keluar. Kami berpisah, lagi.
Aku kembali hidup sebagai anak kelas 11 SMA sekaligus aktifis dan anggota pecinta alam yang sibuk. Mungkin kau akan tertawa jika memergokiku sedang menyampaikan mentoring kepada anak kelas 10. Aku sering menyinggung soal ‘mantan’ yang kemudian aku sangkut pautkan dengan materi. Menurutku itu bahasan yang asyik dan segar untuk usia kami.
“Kak, terus kalau kita sayang sama cowok, kita harus gimana?”, salah satu anak bimbingku bertanya ketika aku kehabisan bahan untuk mengisi mentoring.
“Yaudah sih, sayang itu hak.. Selanjutnya adalah kewajiban untuk jaga diri, bukti nyata kalau kamu sayang ya kamu doain orang itu”
“Sebenernya Allah marah ga kalau kita pacaran?”
“Allah cemburu. Kalau kamu cemburu, marah ga?”
Sebagai seorang mentor aku cukup disukai anak bimbingku, menurut mereka aku bisa membawakan materi dengan simpel dan asyik. Tolong jangan bayangkan aku sebagai seorang wanita anggun dengan jilbab yang begitu lebar. Aku takut kamu kecewa.
14 Februari 2015. Organisasi pecinta alam sekolahku mengadakan latihan gabungan dengan sekolah tetangga. Aku tidak ikut latihan karena saat itu kakiku sedang memar. Ketika aku asyik bernostalgia dengan seorang kawan, tiba-tiba Eja datang. Itu memang sekolah Eja, tapi aku tidak tahu kalau Eja akan datang dan memberi materi untuk organisasiku. Sore itu hujan turun deras, seperti kenangan yang membuatku kuyub. Imanku goyah, aku terus memandangi Eja berjam-jam.
“Dia abis putus”
“Iya?”
“Seminggu yang lalu”
Aku menangis kecewa karena Eja seakan menduakanku.
Pertemuan hari itu mempertemukan hatiku dengan milik Eja lagi. Beberapa kali kami bertemu dan pergi bersama sebagai kawan. Aku ingat betul ketika kami pergi ke pantai, saat itu ia bicara “alam merestui kita” kemudian aku tersenyum. “Kita ke pantai sama siapa aja?”, tanyaku sebelum berangkat.
“Aku, kamu, snorkle, fin, dan pantai”, jawabnya.
Sepanjang tahun 2015 kami sering berjumpa. Seperti sebuah kebutuhan untuk saling hadir. Ia sering bercerita tentang cita-citanya, aku suka membuatnya bercerita karena aku suka mendengarnya. Lama-lama aku merasa Eja bukanlah Eja. Ia berubah dan membuatku khawatir akan patah hati lagi. Desember 2015 aku memberinya sebuah kotak berisi banyak kertas dan tulisan serta pasukan perahu. Aku anggap kotak itu sebagai lambang perpisahan karena aku tidak mau terbawa arus negatif lagi.
Penghujung Januari 2016. Lewat satu hari ulang tahunku Eja datang ke rumah bersama teman-temannya juga kawan-kawanku. Aku senang, tetapi mata Eja asing bagiku. Maret 2016, Eja resmi berpacaran dengan teman satu kelasnya. Aku merasa nadiku habis digerogoti pedih, mataku terbuka lebar dengan posisi tubuh telentang kemudian meringkuk merasa begitu sakit entah dibagian tubuh mana. Aku merasa mati suri entah karena apa. Ujian Nasionalku pun berantakan. Rasanya aku ingin menculik dan membuatnya mengerti bahwa tidak ada perempuan lain yang menyayanginya seperti caraku, dan ia telah menyakiti perempuan itu lagi. Tapi aku tahu siapa aku, seorang perempuan muslim yang harus menjaga diri dan harga dirinya. Aku membenci Eja yang tak bersalah.
Mei 2016 Eja putus. 31Juli 2016 usia Eja genap delapan belas tahun. Aku menyusun sebuah paragraf sebagai kado untuknya, sehari kemudian ia bilang kalau ia terharu. Eja bercerita tentang mantan pacarnya yang baru, aku senang mendengar ia bercerita. Aku jadi tahu tentang ia yang mulai merokok dan segala hal buruk lain. Semua itu membuatku harus berfikir sepuluh kali untuk meninggalkannya begitu saja.
“Kalau kamu dapet uang panas, gimana?”
“Uang gosong?”
“Haha setengah mateng”
“Ih, haram ya?”
“Iya”
“Balikin”
“Masa balikin ke bandar?”
Atau
“Jangan tinggalin aku lagi Fara”
“Aku ga kemana-mana, kamu yang pergi-pergi”
“Maaf Fara, aku jahat”
Aku diam
“Fara jangan diem, siapa lagi yang tahu aku lebih dari kamu?”
“Kamu sudah sholat?”
“Nanti saja”
“Kamu orang baik, jangan jadi orang nakal”
“Aku bukan orang baik Fara, Fara aku sayang kamu”
Saat itu harus berfikir ulang untuk mempercayai omongan Eja. Aku tidak lagi mau kecewa, karena berharap kepada manusia hanya akan membuat kecewa. Aku memilih untuk mendampingi Eja seperti seorang ibu menjaga anaknya. Aku tidak mau manusia sebaik Eja terjerumus ke hal negatif yang tidak pernah ku bayangkan bisa mempengaruhinya.
Sekarang pukul tiga lewat lima belas menit, waktu sholat asar sudah lewat dan sebentar lagi aku harus mengikuti mentoring pertama di masjid. Aku tidak tahu mengapa Allah membuat cerita tentang aku dan Eja begitu berputar-putar, entah bagaimana akhirnya. Aku pun tidak tahu mengapa Allah menitipkan rasa yang begitu besar kepadaku, entah ini anugerah atau bencana. Rencana-Nya adalah rahasia-Nya, sedangkan aku hanya berusaha menjadi kawan yang baik untuk Eja. Sudah lebih dari dua bulan aku tidak melihatnya, semoga ia selalu dalam lindungan-Nya.
Aku berjalan cepat menuruni tangga yang berputar. Gedung C sudah sepi karena hampir semua kelas sudah selesai. Gerimis turun ketika aku baru setengah jalan menuju masjid. Angin yang cukup kencang mengibas-ngibaskan jilbab panjangku yang kotor oleh kuah soto. Ponsel di saku tiba-tiba bergetar bersamaan dengan lampu merah yang berkedap-kedip di ujung atas ponsel.
“Lapor.. Tadi ada masalah. Satu, ngantuk. Dua, lapar. Tiga, kebelet. Empat, keran mushola mati. Lima, rindu. Point satu sampai lima sudah berhasil teratasi, tapi point lima kamulah ahlinya. Laporan selesai”, pesan dari Eja. Aku senyum.
Aku tidak tahu kenapa Allah mempertemukanku dengan Eja, tetapi pasti Allah punya tujuan. Aku bersyukur karena aku bertemu dengan Eja, bagaimana pun juga Eja adalah awal mula aku bersemangat untuk menutup aurat. Dari prestasi-prestasi Eja tentang agama aku bisa belajar untuk mengenal agamaku lebih dalam lagi. Hingga kini aku mendapat julukan “tomboy syar’i” di kampusku. Terimakasih Eja, maaf aku pensiun mengencanimu tapi tidak ada hari libur untuk mendoakanmu. Kawanku, aku rindu.