YASTI

Rabu, 12 April 2017

Pertaruhan Semu

Pertaruhan Semu

Judul Cerpen Pertaruhan Semu
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)


“Meratapi takdir sendiri tentu saja bukan hal yang dibenarkan. Namun, hanya itu yang bisa kulakukan selama ini.” Ujar Takdir.
“Apa motivasimu berbuat seperti itu? Bukankah kau tak harus mati atau meghilang untuk mendapat ketenangan?” tanya daun
Takdir menggelangkan wajahnya. Sesekali melirik burung-burung putih teman daun. Ia heran dengan dirinya sendiri, mengapa ia harus ada di setiap awal kelahiran, proses hidup, dan kematian.
Daun masih menunggu jawaban dari pertanyaanya. Ia meringis melihat tubuhnya mulai terkikis air hujan. Sementara di bawah pohon ia melihat genangan air coklat keruh. Air itu semakin meninggi saat takdir berdiri tepat di samping daun.
“Apakah itu sakit?” tanya takdir
“Takdir, kau bahkan belum menjawab pertanyaanku tadi?”
“Aku sebenarnya datang untuk memberi peringatan padamu. Kau harus tahu, ketika keberadaanku telah kau sadari saat itu juga tugasku untuk menyertaimu seperti pada fase sebelumnya.”
“Memang aku menunggu itu, Takdir”
Daun menegadahkan wajahnya ke langit seolah menyibak naungan awan di atasnya. Pandangannya tulus menguatkan hatinya untuk segera betemu Sang Maha Kuasa.
“Itu sia-sia, tidak ada yang dapat kau lakukan kini,” Komentar takdir. “Aku lebih tahu darimu,” Takdir tersenyum melanjutkan ucapannya.
“Tenang saja, aku tak akan merepotkanmu. Huh, seharusnya kau tidak usah menjemputku. Aku akan datang sendiri padamu” … “Lihatlah itu!” seru daun
Ditunjukkanya tumpukan sampah di antara dua tiang beton jembatan. Tangannya beralih menunjuk gedung-gedung tinggi, jalanan aspal, dan terakhir dirinnya sendiri.
Untuk kesekian kalinya Takdir kebingungan. Ia malah berjalan mundur hingga menabrak pohon. Naasnya, itu tempat daun musim gugur bernaung. Langkah Takdir yang begitu cepat tak disadari daun sehingga dia terpisah dari ranting. Tubuhnya mengambang diangkat udara. Matanya terpejam, menunggu tanah menggapainya.
“Berbahagialah kau daun, tak akan melihat derita bumi lebih panjang!” ujar pohon
“Aku setuju denganmu, lihat senyumnya” timpal ranting
Dari kejauhan terlihat angin berusaha menahan kepergian daun. Ia mengunpulkan udara di sekitarnya menjadi pusaran angin kecil yang dapat dinaiki. Daun melayang-layang dibuatnya, sedangkan tanah harus bersabar menunggu daun kecil itu sampai kepadanya.
“Kau sungguh hebat daun, sampai-sampai takdir dibuat kebingungan olehmu. Mungkin bisa kau jelaskan maksud ucapanmu tadi padanya. Aku tak tahan melihat wajah dungunya itu,” ujar angin terkekeh
Angin melambaikan tangannya pada takdir, berharap agar takdir mendekat ke mereka. Takdir mengikuti isyarat angin itu. Ia melangkahkan tubuh tak berwujudnya tergesa-gesa. Hingga udara di sekitarnya berhamburan kesana-kemari karena datangnya energi besar yang dimiliki takdir. Daun menebarkan senyumannya. Dia ingin sekali mengutarakan maksud perkataannya tadi ke Takdir.
“Takdir, aku sangat berterimakasih kepada Tuhan. Tolong sampaikan padanya, daun kecilnya ini akan datang menghadap. Aku telah bahagia sekarang. Kau pasti tahu takdir, nanti aku dan tanah bersatu kembali. Sama seperti awal kelahiranku dulu.”
Tanpa sengaja, takdir menerjang pusaran angin di bawah daun. Daun melayang tak beraturan, namun menghasilkan ritme yang indah. Beberapa menit kemudian daun diam tak berkutik dalam pelukan tanah tandus.
‘Lagi, lagi, dan lagi aku melihat kejadian ini. Sama seperti sebelumnya. Kali ini sebuah jiwa yang baru saja terpisah dari raga masih mampu tersenyum padaku serta mengucapkan terimakasih. Satu hal yang membuatku terbungkam, ia mampu membuatku kebingungan dengan setiap perkataannya. Ia satu satunya, mungkin.’ pikir Takdir
Takdir masih tak beranjak dari tempatnya. Ia terdiam memandangi keadaan bumi. Bumi sudah tua, namun beban berat yang ditanggung semakin bertambah setiap harinya.
“Ini salahku angin, mengapa aku tak memahami arah pembicaraanya sejak awal.”
“Tenang takdir, aku akan memperjelas hal itu padamu. Sebenarnya ini ada hubungnnya denganmu…,”
“Maksudmu?” ujar Takdir memotong pembicaraan
“Biarkan aku melanjutkan ucapanku tadi. Kau pasti ingat kan saat daun menunjuk jembatan, gedung, jalan dan dirinya sendiri?” Takdir mangangguk. “Dia ingin berkata padamu bahwa mereka yang menyebabkan kau datang secepat ini. Karena ulah merekalah kami resah, bahkan bumi semakin suram wajahnya. Andai saja mereka sadar. Pasti daun takkan gugur secepat ini dan air meronta-ronta naik ke permukaan,” jelas Angin
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanya Takdir
“Kau kan bisa mengubah semua ini.”
“Tidak juga. Aku takkan bisa seenaknya mengubah takdir, karena takdir adalah hal mutlak yang sudah ditentukan Tuhan. Mungkin kau bisa minta bantuan pada Nasib.”
“Kemarin Pohon sudah bertemu dengan nasib. Dan nasib malah memberikan kalimat yang memuakkan”
“Bisa kau beritahu aku kalimat itu?”
“Kalian tidak bisa mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang melakukannya sendiri. Itu ucapannya.”
“Perlu kau ketahui, perkataanya itu benar. Mulai saat ini aku berharap agar kalian tidak menggantungkan diri padaku maupun nasib. Karena sehebat apapun kami, kami takkan mampu melawan ambisi yang kuat. Begitupula dengan perintah Tuhan. Untuk itu teruslah berusaha membantu bumi dan pegang teguh kepercayaanmu,” ujar Takdir.