YASTI

Adds

Sabtu, 22 April 2017

Peringatan Isra Mi'raj YASTI

PERINGATAN ISRA MI’RAJ dalam PERSPEKTIF DUNIA MODERN


 Peringan Isra Mi'raj Yayasan Tarbiyah Islamiyah yang di dukung oleh MTs. YASTI 1, MA YASTI, dan SMK yasti dengan mubalig KH. Jujun Junaedi dari POLRES Sukabumi, perayaan dilaksanakan dengan hikmat dan penuh perhatian.

dalam peringatan tersebut KH Jujun Junaedi mengamanatkan kepada seluruh siswa YASTi agar melaksanakan belajar dengan penuh tanggung jawab dan melaksanakan disiplin nasiona, agarmenjadi anak yang bertangung jawab kepada diri sendiri, sekolah dan keluarga. dan tidak lupa beliau mengamanatkan kepada seluruh siswa agar dalam pergaulan siswa YASTI supaya menjauhi NARKOBA, karena Narkoba bisa merusak kepribadian siswa itu sendiri.






Ilmu yang digali dalam Isra Mi'raj dalam suray (Q.S Al-Isra : 1) yang menyatakan 

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Q.S Al-Isra : 1)


Tanggal 27 Rajab dikenal sebagai hari Isra Mi'raj yang merupakan salah satu hari besar yang dirayakan umat Islam tiap tahunnya. Pada tanggal tersebut berlangsung fenomena penting bagi umat Islam, yaitu Isra dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Tepatnya seperti tanggal yang ditunjukkan sejarahwan yaitu, tanggal 27 Rajab tahun ke 11 setelah pengangkatan Muhammad sebagai Nabi. Tiap tahunnya umat Islam Indonesia mengenang peristiwa itu. Mengenang Isra dan Mi'raj berarti juga mengenang fenomena perjalanan semalam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Fenomena itu diabadikan dalam Al-Qur'an surat Al-Isra : 1 yang artinya, “Maha suci Allah yang memperjalakan hamba-Nya pada suatu malam dan al Masjidil Haram ke al Masjidil Aqsa yang Kami berkahi sekelilingya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Ayat diatas menggambarkan kemahakuasaan Allah Swt. kepada umat manusia. Allah Swt. yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad Saw) dari Masjidil Haram di Mekkah menuju ke Masjidil Aqsha di Palestina, hanya dalam waktu 1 malam. Tentu kejadian ini tidak dapat diterima secara akal sehat manusia, mengingat jarak antara Mekkah dan Palestina adalah ±1350 Km. Terlebih lagi perjalanan tersebut dilanjutkan menuju ke Sidratul Muntaha, yang terjadi pada malam itu juga. Suatu hal yang  mustahil dan mengada-ada untuk zaman saat itu. 

Dalam masyarakat modern, manusia lebih banyak tidak dapat menerima suatu kejadian tanpa adanya pembuktian secara ilmiah.  Mungkin didalamnya termasuk juga peristiwa Isra Mi’raj. Tidak akan mungkin terjadi dalam waktu satu malam sekalipun menggunakan alat transportasi yang super cepat. Terlebih lagi peristiwa itu terjadi pada zaman dimana teknologi belum sehebat seperti zaman sekarang ini. Sehingga peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar akan kebenarannya berdasarkan kajian ilmiah.

Sesuai kodrat manusia sebagai makhluk yang berakal, fenomena luar biasa itu melahirkan rasa ingin tahu, bagaimana mekanisme berlangsungnya perjalanan Isra Mi’raj itu?  Serta dimana gerangan langit ke tujuh dan tempat tertinggi Sidratul Muntaha? Pertanyaan serupa juga pernah mencuak pada 14 abad yang silam, pada saat manusia masih sukar membayangkan sosok benda langit pengisi alam semesta dan dimensi ruang angkasa yang sangat luas. Pengetahuan tentang kecepatan cahaya baru ditemukan oleh Ole (Olaus) Christensen Romer (1644-1710), seorang astronom berkebangsaan Denmark pada tahun 1976 yang memperoleh pengetahuan tentang kecepatan cahaya melalui keterlambatan kemunculan satelit Jupiter setelah gerhana dibanding dengan prediksi orbit. Romer berkesimpulan bahwa, “Kecepatan cahaya terbatas dan mendapatkan angka kecepatan cahaya sebesar 225.000 km per detik”. Pada berlangsungnya fenomena Isra Mi'raj itu manusia belum mempunyai pengalaman menerbangkan wahana antariksa dan ikut terbang di ruang angkasa. Ajaran Islam melalui fenomena Isra dan Mi'raj secara tidak langsung mempertegas bahwa “manusia” dapat menjelajah ke tempat yang tinggi.

Demikianlah kiranya Allah Swt. memperjalankan hamba-Nya dari tempat-tempat yang terpisah dengan jarak yang tidak dekat, hanya dalam tempo satu malam, yang menurut kita tidak mungkin. Ini menunjukkan kepada kita akan kemahakuasaan Allah Swt. yang menggenggam langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Ingatlah bahwa satu hari disisi Allah Swt.  adalah 1000 tahun menurut perhitungan manusia.
Allah Swt. berfirman yang artinya :
Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu”. (Q.S. Al-Hajj : 47).

Ayat diatas memberitahukan pada kita bahwasannya, suatu perjalanan yang membutuhkan waktu 1000 tahun bagi kita, bagi Allah Swt. hanya dapat dilakukan dalam satu hari saja, seperti membalikkan telapak tangan. Dari sini dapat dianalogikan berdasarkan teori deret matematika, bahwa seharusnya jarak tempuh antara Mekkah dan Palestina membutuhkan waktu 3-5 hari bagi kita, maka bagi Allah Swt. cukup beberapa detik saja.  Allahu Akbar

Dari penjelasan diatas, bagi kaum Ateis ini menimbulkan pertanyaan baru dalam hati yang belum puas terhadap peristiwa Isra Mi’raj. Mereka akan beranggapan bahwa, Tuhan berada dalam ruang yang bergerak dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya. Argumen ini mungkin benar jika mengacu pada teori relativitas Einstein. Akan tetapi tentang keberadaan-Nya, hanya Dialah yang Maha Mengetahui. Dalam kajian waktu, ada tiga kategori pengelompokan waktu, yaitu past, present, dan future. Sebagai seorang muslim tentu kita sepakat bahwasannya Allah Swt. menguasai tiga keadaan waktu tersebut. Dialah Allah Swt. yang mengetahui masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang.
Allah Swt. berfirman yang artinya :
“....Dan Allahlah yang Maha Mengetahui, dan kamu tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 232)

Fenomena Isra Mi'raj Nabi Muhammad Saw. 14 abad yang silam sangat multi dimensi dan menarik banyak perhatian umat Islam. Oleh karena itu, menggali hikmah Isra' Mi'raj merupakan upaya yang tak habis-bahisnya sepanjang zaman. Menggali hikmah pemahaman Isra' Mi'raj berpangkal pada peningkatan ketaqwaan dan perluasan pengetahuan manusia. Fenomena Isra Mi'raj memfokuskan ketertarikan manusia untuk mengenal dan memahami langit, fenomena langit dan penjelajahan ruang angkasa. Seiring dengan penegasan Al-Qur’an untuk memperhatikan langit berarti juga ajaran Islam menstimulan lahirnya ilmu pengetahuan berbasis pada pengamatan (observasi science). 

Peristiwa Isra Mi’raj, selain menunjukkan tanda-tanda Kemahakuasaan Allah Swt. juga mengandung hikmah yang sangat besar yang dapat menguji kekuatan iman seseorang. Bukan hanya sekedar menyakini peristiwa tersebut dengan melakukan perayaan besar! Tetapi lebih dari itu. Pengamalan dari apa yang dibawa Rusulullah Saw. dalam peristiwa itu, yaitu perintah sholat, haruslah ditegakkan diatas amalan-amalan lain. Betapa pentingnya ibadah sholat sehingga Allah Swt. langsung menyampaikannya kepada Rasulullah Saw. secara langsung, tanpa melalui perantara Malaikat Jibril As dalam peristiwa Isra Mi’raj. Bahkan, setiap muslim dapat mengalami Mi’raj ketika ia sholat. Karena sholat adalah amal ibadah yang memberi kesempatan kepada kita untuk menanggalkan sifat kemanusiaan kita, menghadapkan hati dan pikiran kita hanya kepada Allah Swt. Tentu saja bukan bertemu secara fisik, melainkan melihat dengan mata hati serta merasakan kehadiran-Nya secara intuitif. Orang bijak selalu mengingatkan pada kita, bahwa setiap orang islam harus bersyahadat minimal 9 kali dalam sehari. Syahadat dalam hal ini bukan hanya membacanya 9 kali tanpa melakukan ibadah lain. Ingat, bahwa di dalam sholat kita selalu besyahadat disetiap tahiyat, dan dalam 5 waktu sholat (dalam sehari) terdapat 9 kali syahadat. Jadi bukan hanya sekedar membaca 2 kalimat syahadat, tetapi seorang muslim haruslah mengerjakan sholat 5 kali dalam sehari, yaitu Ashar, Manghrib, Isya’, Subuh, dan Dhuhur serta ditambah dengan amalan shalat shunnah yang di contohkan oleh Rasulullah Saw.

Untuk itu marilah kita sandarkan hati kita pada nilai keimanan yang sesungguhnya, dengan berupaya menegakkan risalah yang disampaikan Rasulullah Saw. kepada kita ummat Islam, termasuk didalamnya menegakkan sholat dalam keseharian kita, karena sesungguhnya sholat adalah tiang agama, dan amalan yang akan dihisab pertama kali.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesuatu yang pertama kali diperhitungkan pada hamba adalah shalatnya, jika ia menyempurnakannya. Jika tidak (sempurna) maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Lihatlah apakah hambaKu mempunyai (shalat) sunat ?". Jika kedapatan padanya (shalat) sunat, maka Allah berfirman : "Sempurnakanlah fardhu itu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

Sehingga kita tidak hanya tersibukkan untuk melakukan perayaan Isra Mi’raj dan mengabaikan makna sholat yang terkandung dalam peristiwa itu. Hanya dengan tegaknya Daulah Islamiyah, kebahagian dunia dan akhirat dapat tercapai. Insya Allah


Semoga saja, tulisan yang penulis adopsi dari berbagai pendapat ini, memberikan pencerahan kepada kita semua terutama diri penulis sendiri untuk kembali memaknai hakekat Isra’ Mi’raj dan mampu meretas belenggu pemahaman parsial menjadi pemahaman kolektif dari sisi keshalehannya. Amin


Tentang Penulis Ulang

Rahmat Kurniawan
Lahir di kota Baubau, Sulawesi Tenggara, dalam tradisi dan kultur pendidikan yang kental. Sekarang masih menempuh studi S-1 Keperawatan di Fakultas Ilmu Keperawatan UNISSULA Semarang.

Saat ini, Rahmat Kurniawan atau acap kali disapa Endhy. Selain sebagai mahasiswa aktif, ia juga selalu menyempatkan diri setiap hari untuk menulis dan mengkaji ilmu. Ia mengaku tertarik pada 3 dunia, yaitu dunia agama, menulis dan politik. Pengamatannya selama ini terhadap 3 dunia tersebut. Membuat ia bersemangat untuk selalu memacu diri menghasilkan karya-karya yang setara dengan para penulis muslim idolanya, seperti Prof. La Ode Kamaluddin, Uts.Habiburrurahman, Uts.Munif, Uts.Mujib, Andrea Hirata dan lain-lain.

Saya berpendapat bahwa, “Hidup itu hanya sekali, maka buatlah hidup itu lebih bermakna dengan amal yang engkau perbuat serta karya-karya yang dapat mementik sanubari tiap individu yang menyaksikannya. Sehingga engkau akan dikenang sebagai salah satu orang yang berpengaruh di dunia”.

Alur PP.ppt

Aktivitas PP

Geranakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

Pengertian PP.ppt

Pengantar PP.ppr

Program Kerja PMR Madya


Palang Merah Remaja (disingkat PMR) adalah wadah pembinaan dan pengembangan anggota remaja PMI, yang selanjutnya disebut PMR.Terdapat di PMI kota atau kabupaten di seluruh Indonesia, dengan anggota lebih dari 5 juta orang, anggota PMR merupakan salah satu kekuatan PMI dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dibidang kesehatan dan siaga bencana, mempromosikan prinsip-prinsip dasar gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional, serta mengembangkan kapasitas organisasi PMI.
Kebijakan PMI dan federasi tentang pembinaan Remaja bahwa:
1.   Remaja merupakan prioritas pembinaan, baik dalam keanggotaan maupun kegiatan kepalangmerahan.
2.   Remaja berperan penting dalam pengembangan kegiatan kepalangmerahan.
3.   Remaja berperan penting dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan proses pengambilan keputusan untuk kegiatan PMI.
4.   Remaja adalah kader relawan.
5.   Remaja calon pemimpin PMI pada masa depan.

Palang Merah Remaja atau PMR adalah suatu organisasi binaan dari Palang Merah Indonesia yang berpusat di sekolah-sekolah ataupun kelompok-kelompok masyarakat (sanggar, kelompok belajar, dll.) yang bertujuan membangun dan mengembangkan karakter Kepalangmerahan agar siap menjadi Relawan PMI pada masa depan.

Panduan RPP PMR Madya 

Panduan Fasilitator PMR Madya 

PROGRAM  KERJA  pmr MADYA.docx

PROGRAM KERJA PMR MADYA 2 .docx

Jumat, 21 April 2017

alur Pertolongan Pertama






















menager


Biografi Muhammad Yamin

BIOGRAFI MUHAMMAD YAMIN



13
Prof. Mohammad Yamin, SH, penyair yang dikenal sebagai pemula bentuk soneta dalam kesusastraan Indonesia modern ini dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta.
Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).
Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Keith Robert Foulcher (1974) dalam disertasinyha mengemukakan bahwa konsepsi Yamin tentang soneta dipengaruhi sastra Belanda dan tradisi kesusastraan Melayu. Karena itu, soneta Yamin bukanlah suatu adopsi bentuk eropa dalam keseluruhan kompleksitas strukturalnya, tetapi lebih merupakan suatu pengungkapan yang visual, sesuatu yang bersifat permukaan saja dari soneta Belanda, yang masih memiliki ekspresi puitis yang khas Melayu.
Berikut ini ditampilkan sebuah soneta Yamin yang masih dilekati tradisi sastra Melayu dan yang menggambarkan kerinduan dan kecitaan penyair pada tanah kelahiran.

Di Lautan Hindia
Mendengarkan ombak pada hampirku

Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku

Sebelah Timur pada pinggirku

Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku

Di mana laut debur-mendebur

Serta mendesir tiba di papsir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi barissan sebuah pesisir


Di sanalah hendaknya, aku berkubur Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara. Kebesaran sejarah berbagai kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu sajaknya, ia mengatakan demikian: ‘….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia’.
Keagungan dan keluhuran masa silam bangsanya menimbulkan pula kesadaran pada diri Yamin bahwa:

Buat kami anak sekarang
Sejarah demikian tanda nan terang
Kami berpoyong asal nan gadang
Bertenaga tinggi petang dan pagi

Di atas terbaca warna nasionalisme dalam sajak-sajak Muhammad Yamin. Warna nasionalisme dalam kepenyairan Yamin agaknya tidak dapat dipisahkan dari peranan Yamin sebagai pejuang dalam masa-masa mencapai kemerdekaank. Di samping itu, adanya Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda itu juga memegang peranan yang amat penting. Dengan adanya sumpah pemuda itu kesadaran nasional semakin meningkat dan organisasi-organisasi pemuda yang semula bersifat kedaerahan mulai mengubah dirinya ke arah nasionalistis. Hal ini dapat dikatakan berpengaruh pada pandangan Yamin sebagai penyair dan peranannya yang ingin disumbangkannya untuk kejayaan bangsa dan negaranya. Sebagai pemuda yang mencita-citakan kejayaan masa depan bangsanya, ia tetap mengenang kegemilangan masa silam bangsanya:


Tiap gelombang di lautan berdesir
Sampai ke pantai tanah pesisir
Setiap butir berbisik di pasir
Semua itu terdengar bagiku
Menceriterakan hikayat zaman yang lalu
Peninggalan bangsaku segenap waktu
Berkat cahaya pelita poyangku


Penggalan sajak berikut ini juga memperlihatkan adanya kesadaran untuk memelihara hasi-hasil yang pernah dicapai oleh para pendahulu bangsa dan menjadikannya sebagai modal untuk meraih kegemilangan masa depan:

Adapun kami anak sekarang
Mari berjejrih berbanting tulang
Menjaga kemegahan jangalah hilang,
Supaya lepas ke padang yang bebas
Sebagai poyangku masa dahulu,
Karena bangsaku dalam hatiku
Turunan Indonesia darah Melayu


Patriotisme Yamin yang juga mengilhami untuk menumbuhkan kecintaan pada bangsa dan sastra. Yamin melihat adanya hubungan langsung antara patriotisme yang diwujudkan lewat kecintaan pada bahasa dan pengembangan sastra Indonesia. Sebagai penyair yang kecintaannya pada bahasa nasionalnya berkobar-kobar, ia cenderung mengekspresikan rasa estetisnya dalam bahasa nasionalnya dengan harapan kesusastraan baru akan tumbuh lebih pesat. Hal ini tampak dalam baik berikut ini:

Apabila perasaan baru sudah mendirikan pustaka
baru dalam bahasa tumpah daerah kita, maka
lahirlah zaman yang mulia, sebagai pertandaan
peradaban baru, yaitu peradaban Indonesia-Raya


Di Jakarta, dalam usia 59 tahun—yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962 – Muhammad Yamin tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia. Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Baginyta sejarah adalah salah satu cara dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William Shakespeare (1564–1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861–1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga.

Hasil Karya
Puisi

(1) Indonesia, Tumpah Darahku, Jakarta: Balai Pustaka, 1928. (kumpulan)
Drama

(1) Ken Arok dan Ken Dedes, Jakarta: Balai Pustaka, 1934
(2) Kalau Dewa Tara Sudah Berkata. Jakarta: Balai Pustaka, 1932

Terjemahan

(1) Julius Caesar karya Shakespeare, 1952
(2) Menantikan Surat dari Raja karya R. Tangore, 1928
(3) Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya R. Tigore, t.th
(4) Tan Malaka. Jakarta: Balai Pustaka,1945

Sejarah

(1) Gadjah Mada, Jakarta: 1945
(2) Sejarah Pangerah Dipenogoro, Jakarta: 1945

Kumpulan Puisi Muhamad Yamin

Kumpulan Puisi Muhammad Yamin

INDONESIA TUMPAH DARAHKU
Pasundan, 26 Oktober 1928 

Bersatu kita teguh
Bercerai kita jatuh

Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya

Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya. Tanah airku

Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di alam nan lapang

Tumpah darah Nusa India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia

Bangsa Indonesia bagiku mulia
Terjunjung tinggi pagi dan senja,
Sejak syamsiar di langit nirmala
Sampaikan malam di hari kelam
Penuh berbintang cahaya bulan;
Mengapatah mulai, handai dan taulan,
Badan dan nyawa ia pancarkan.

Selama metari di alam beredar
Bulan dan bintang di langit berkisar
Kepada bangsaku berani berikrar;
Salam awan putih gemawan
Memayungi telaga ombak-ombakan,
Selama itu bangsaku muliawan
Kepada jiwanya kami setiawan.

Ke Indonesia kami setia
Di manakah ia di hatiku lupa,
Jikalau darah di badan dan muka
Berasal gerangan di tanah awal;
Sekiranya selasih batang kemboja
Banyak kulihat ditentang mata
Menutupi mejan ayah dan bunda?

Di batasan lautan penuh gelombang,
Mendekati pantai buih berjuang,
Terberai tanahku gewang-gemewang
Sebagai intan jatuh terberai
Dilingkari kerambil lembai-melambai
Menyanyikan lagu dan indah permai
Di sela ombak memecah ke pantai.

Duduk di pantai tanah permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.

Memandang ‘alam demikian indahnya
Ditutupi langit dengan awannya
Berbilaikan buih putih rupanya,
Rindulah badan ingin dan rewan,
Terkenangkan negeri dengan bangsanya
Berumah tangga selama-lamanya
Penuh peruntungan berbagai sejarahnya.


 TANAH AIR
Bogor, Juli 1920

Pada batasan, bukit barisan
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagi pun sawah sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku

                                                                                   Sesayup mata, hutan semata
                                                                                   Begunung bukit, lemah sedikit
                                                                                   Jauh di sana, di sebelah situ,
                                                                                   Dipagari gunung satu persatu
                                                                                   Adalah gerangan sebuah surga,
                                                                                   Bukannya janat bumi kedua
                                                                                  -Firdaus melaju di atas dunia!
                                                                                   Itulah tanah yang kusayangi,
                                                                                   Sumatera namanya, yang kujunjungi

Pada batasan, bukit barisan
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala
Itulah laut, samudera hindia
Tampaklah ombak, gelombang berbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai
Ia memekik, berandai-andai
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera, harumkan nama Selatan Sumatera”
TANAH AIR
Tanah Pasundan, 9 Desember 1922
 Di atas batasan Bukit Barisan
Memandang beta ke bawah memandang:
Tampaklah hutan rimba dan ngarai
Lagipun sawah, telaga nan permai:
Serta gerangan lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya tumpah darahku.

Indah ‘alam warna pualam
Tempat moyangku nyawa tertumpang;
Walau berabad sudah lampau
Menutupi Andalas di waktu nan silau
Masih kubaca di segenap mejan
Segala kebaktian seluruh zaman,
Serta perbuatan yang mulia-hartawan
Nan ditanam segala ninikku
Dikorong kampung hak milikku.

Rindu di gunung duduk bermenung
Terkenangkan masa yang sudah lindang;
Sesudah melihat pandang dan tilik
Timur dan Barat, hilir dan mudik,
Teringatlah pulau tempat terdidik
Dilumuri darah bertitik-titik,
Semasa pulai berpangkat naik:
O, Bangsaku, selagi tenaga
Nan dipintanya berkenan juga.

Gunung dan bukit bukan sedikit
Melengkung di taman bergelung-gelung
Memagari daratan beberapa lembah;
Di sanalah penduduk tegak dan rebah
Sejak beliung dapat merambah
Sampai ke zaman sudah berubah:
Sabas Andalas, bunga bergubah
Mari kujunjung, mari kusembah
Hatiku sedikit haram berubah!

Anak Perca kalbunya cuaca
Apabila terkenang waktu nan hilang,
Karena kami anak Andalas
Sejak dahulu sampai ke atas
Akan seia sehidup semati
Sekata sekumpul seikat sehati
Senyawa sebadan sungguh sejati
Baik di dalam bersuka raya
Ataupun diserang bala bahaya.

Hilang bangsa bergantikan bangsa
Luput masa timbullah masa…
Demikianlah pulauku mengikutkan sejarah
Sajak dunia mula tersimbah
Sampai ke zaman bagus dan indah
Atau tenggelam bersama ke lembah
Menyerikan cahaya penuh dan limpah.
Tetapi Andalas di zaman nan tiba
Itu bergantung ke tuan dan hamba.

Awal berawal semula asal
Kami serikat berpagarkan ‘adat,
Tapi pulauku yang mulia raya
Serta Subur, tanahnya kaya
Mari kupagar serta kubilai
Dengan Kemegahan sorak semarai
Lagi ketinggian berbagai nilai,
Karena di sanalah darahku tertumpah
Serta kupinta berkalangkan tanah.

Yakin pendapat akan sepakat
‘Akibat Barisan manik seikat;
Baikpun hampir jauh dan dekat,
Lamun pulauku mari kuangkat
Dengan tenaga kata mufakat
Karena, bangsaku, asal’lai serikat
Mana yang jauh rasakan dekat
Waktu yang panjang rasakan singkat,
Dan Kemegahan tinggi tentu ditingkat.

O, tanah, wahai pulauku
Tempat bahasa mengikat bangsa,
Kuingat di hati siang dan malam
Sampai semangatku suram dan silam;
Jikalau Sumatera tanah mulia
Meminta kurban bagi bersama
Terbukalah hatiku badanku reda
Memberikan kurban segala tenaga,
Berbarang dua kuunjukkan tiga
 
Elok pemandangan ke sana Barisan
Ke pihak Timur pantai nan kabur,
Sela bersela tamasa nan ramai
Diselangi sungai yang amat permai:
Dengan lambatnya seperti tak’kan sampai
Menghalirlah ia hendak mencapai
Jauh di sana teluk yang lampai;
Di mana dataran sudah dibilai
Tinggallah emas tiada ternilai

BAHASA, BANGSA

Selagi kecil berusia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda,
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu
Perasaan serikat menjadi berpadu,
Dalam bahasanya, permai merdu.

Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernafas kita pemanjangkan nyawa,
Dalam bahasa sambungan jiwa.
Di mana Sumatera, di situ bangsa,
Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana-bejana,
Sejakkan kecil muda teruna,
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah,
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang.

DI LAUTAN HINDIA

Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku

Sebelah Timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku

Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di papsir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur

Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi barissan sebuah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur


BANDI MATARAM! 

Pandangan jauh sekali
kepada zaman yang sudah hilang,
Ketika dewa hidup di bumi
serta bangsaku, bangsaku sayang
Berumah di hutan indah sekali,
atau di ranah lembah dan jurang,
O, Bangsaku, alangkah mujurmu di waktu itu
berjuang di padang ditumbuhi duka
Karena bergerak ada dituju
serta disinari cahaya Cinta
Atau meratap tersedu-sedu
karena kalbunya dipenuhi duka.
Walau demikian beratnya beban
hati nan sesak tiadalah sangka;
Ke langit nan hijau menadahkan tangan
meminta ke-Tuhan junjungan mulia
Supaya peruntungan tuan lupakan,
walau sengsara bukan kepalang
Tuan elakkan segala semuanya
biar terhempas terbawa ke karang,
Karena bangsaku nan sangat mulia
dengan begola, bintang gemilang
Serta bulan bersamaku surya
bertabur di langit gulita cemerlang,
Ia sehati, sekumpul senyawa,
Sebagai anak nan belum gedang
Kulihat tuan bergerak ke muka
dengan sengsara biar berperang,
Kadang berbantu haram tiada:
sungguh demikian Cahaya nurani
Nan bersinar-sinar di dalam dada
Bertambah besarnya bergandakan seri
Biar menentang bala dan baya
yang menceraikan orang, sehidup semati
Atau sepakat taulan saudara.
Dalam pandanganku tampaklah pula
Daripada bangsaku beberapa orang
berjalan berdandan ke padang mulia
Ke medan gerangan hendak berjuang
berbuat kurban meminta sejahtera
Isteri dan anak, sibiran tulang,
Baik bercabul rukun dan damai
bangsaku selalu besar dan tinggi:
Kadang ‘tu fajar hampir berderai
sedangkan embun belumlah pergi
Berjalan tuan alim dan lalai
menjelang sawah sedang menanti,
Beserta kerbau, anak dan bini
Tuan berjerih membuat puja
Kepada tanah yang subur sekali:
berkat pun turun dihadiahkan dewa,
Karena awan di gunung dan giri
turun ke bumi hujan terbawa
Alamat kesejahteraan sangat sejati!
Ditengah malam duduk bersama
Menghadapi seri cahaya pelita
timbullah sukur di hati mesra
Serta mendoa ke-Tuhan Mahakuasa
memulangkan santun, meminta cinta.
Jikalau pekan harilah balai
Alangkah sukanya kecil dan besar.
Segala yang kecil sorak semarai
menurut jalan berputar-putar
Serta sorakan bandar dan permai:
Ada menolong ibu dan bunda
Walaupun ketiding belum berisi!
Ada bermainan, cengkerik dan layang
Dan mengadu ayam, sesuka hati!
Berapalah suka alang kepalang
Bergurau dengan pinangan sendiri,
Si anak dara di hari nan datang!
Gadis perawan muka nan permai,
ketika hari bersuka raya,
Semua berjalan menuju balai:
kalau begini terkenang dik beta
Besarlah hati tiada ternilai,
karena disinari ingatan mulia.
Lihatlah perempuan hiasan di kampung
berpakaian adat bertekatkan emas
Berteduh di surga sebagai payung
menginjakkan kaki langkah yang tangkas
Atau mengidap sebagai ikan tunjung
menceriterakan rahasia, harap dan cemas,
Di belakang berjalan ninik dan mamak,
Ajuk-mengajuk bertukar bicara
Timbang menimbang kuranglah tidak
Ke balai terus gerangan jua
Dengan suara seberapa suka!
Tiada berhingga sehari-harinya.
Apabila hari sudah malam
Datanglah pula satu per satu
berundangan makan di hari kelam:
Demikian teguhnya gerangan bangsaku
Senyawa sebadan, sejahtera dan malam
Membuat kurban setiap sekalu,
kepada kawan handai dan taulan
Jika diserang gundah gulana
tuan sembahkan kedua tangan.
Dan berapalah pula berhati suka
Kalau disinari caya kenangan,
Alamat bagia yang sangat mulia.

Lihatlah gerangan, pandanglah pula
Di sana memutih cahaya mega
Menebarkan harapan di cakrawala.

Dengarkan sungai, air dan gangga
Mengeluarkan lagu merdua suara
Sebagai bunyian di dalam suarga.

Di hati bangsaku di pulau perca
Bersinar Cinta, bersuka riang
Menghadapi usia, gemilang cuaca.

Wahai bangsaku, remaja ‘lah lindang
Sebagai embun di hari pagi
Lenyaplah ke zaman yang sudah hilang

Kini bangsaku, insafkan diri
Berjalan ke muka, marilah mari
Menjelang padang ditumbuhi mujari
Dicayai Merdeka berseri-seri.