YASTI

Adds

Kamis, 20 April 2017

Puis Karya Chairil Anwar



A k u   (Semangat)  
Kalau sampai waktuku‘Ku mau tak seorang kan merayuTidak juga kauTak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih periDan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi
1945


*)  Puisi ini mempunyai dua judul, yaitu “Aku” dan “Semangat”.  Judul aslinya adalah “Aku”, namun pada masa itu lalu diubah oleh Pusat Kebudayaan menjadi “Semangat” untuk menyesuaikan dengan semangat zaman dan supaya lolos sensor.  “Aku” mempunyai interpretasi individualistis, sedangkan “Semangat” mempunyai interpretasi sebagai perjuangan kolektif yang dibutuhkan pada masa itu. 


Krawang-BekasiKami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasitidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,terbayang kami maju dan mendegap hati ?Kami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.Kami sudah coba apa yang kami bisaTapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawaKami cuma tulang-tulang berserakanTapi adalah kepunyaanmuKaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakanAtau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapanatau tidak untuk apa-apa,Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkataKaulah sekarang yang berkataKami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKenang, kenanglah kamiTeruskan, teruskan jiwa kamiMenjaga Bung Karnomenjaga Bung Hattamenjaga Bung SjahrirKami sekarang mayatBerikan kami artiBerjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang, kenanglah kamiyang tinggal tulang-tulang diliputi debuBeribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1948


Diponegoro
Di masa pembangunan inituan hidup kembaliDan bara kagum menjadi apiDi depan sekali tuan menantiTak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiriBerselempang semangat yang tak bisa mati.MAJUIni barisan tak bergenderang-berpaluKepercayaan tanda menyerbu.Sekali berartiSudah itu mati.MAJUBagimu NegeriMenyediakan api.Punah di atas menghambaBinasa di atas ditinda(s)Sesungguhnya jalan ajal baru tercapaiJika hidup harus merasaiMajuSerbuSerangTerjang1943


D o a
Kepada Pemeluk TeguhTuhankuDalam termanguAku masih menyebut namamuBiar susah sungguhmengingat Kau penuh seluruhcayaMu panas sucitinggal kerdip lilin di kelam sunyiTuhankuaku hilang bentukremukTuhankuaku mengembara di negeri asingTuhankudi pintuMu aku mengetukaku tidak bisa berpaling1943
Derai Derai CemaraCemara menderai sampai jauhterasa hari akan jadi malamada beberapa dahan di tingkap merapuhdipukul angin yang terpendamaku sekarang orangnya bisa tahansudah berapa waktu bukan kanak lagitapi dulu memang ada suatu bahanyang bukan dasar perhitungan kinihidup hanya menunda kekalahantambah terasing dari cinta sekolah rendahdan tahu, ada yang tetap tidak terucapkansebelum pada akhirnya kita menyerah
 1949      

Yang Terampas dan Yang Terputus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugudi Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dinginaku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datangdan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;tapi kini hanya tangan yang bergerak lantangtubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku1949


Cintaku Jauh di PulauCintaku jauh di pulau,gadis manis, sekarang iseng sendiriPerahu melancar, bulan memancar,di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.angin membantu, laut terang, tapi terasaaku tidak ‘kan sampai padanya.Di air yang tenang, di angin mendayu,di perasaan penghabisan segala melajuAjal bertakhta, sambil berkata:“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!Perahu yang bersama ‘kan merapuh!Mengapa Ajal memanggil duluSebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!Manisku jauh di pulau,kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.                                                                                1946

Senja di Pelabuhan Kecil Buat Sri AjatiIni kali tidak ada yang mencari cintadi antara gudang, rumah tua, pada ceritatiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlautmenghembus diri dalam mempercaya mau berpautGerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elangmenyinggung muram, desir hari lari berenangmenemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerakdan kini tanah dan air tidur hilang ombak.Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalanmenyisir semenanjung, masih pengap harapsekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalandari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.      

1946


Malam di PegununganAku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!                                                                                                1947


Sajak PutihBuat Tunanganku MiratBersandar pada tari warna pelangiKau depanku bertudung sutra senjaDi hitam matamu kembang mawar dan melatiHarum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tibaMeriak muka air kolam jiwaDan dalam dadaku memerdu laguMenarik menari seluruh akuHidup dari hidupku, pintu terbukaSelama matamu bagiku menengadahSelama kau darah mengalir dari lukaAntara kita Mati datang tidak membelah…
                                                                                1944


Di MesjidKuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda
Ini ruangGelanggang kami berperang
Binasa-membinasaSatu menista lain gila.                                                1943


I s aKepada Nasrani SejatiItu tubuhmengucur darahmengucur darahrubuhpatahmendampar tanya :  aku salah ?
kulihat tubuh mengucur darahaku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masabertukar rupa ini segara
mengatup lukaaku bersuka
Itu tubuhmengucur darahmengucur darah
                                                                1943


RumahkuRumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakalaDi pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajakDi sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datangAku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Biar berleleran kata manis maduJika menagih yang satu.
1943


PenerimaanKalau kau mau kuterima kau kembaliDengan sepenuh hatiAku masih tetap sendiriKutahu kau bukan yang dulu lagiBak kembang sari sudah terbagiJangan tunduk! Tentang aku dengan beraniKalau kau mau kuterima kembaliUntukku sendiri tapiSedang dengan cermin aku enggan berbagi.
 1943


MerdekaAku mau bebas dari segalaMerdekaJuga dari Ida
PernahAku percaya pada sumpah dan cintaMenjadi sumsum dan darahSeharian kukunyah-kumamah
Sedang meradangSegala kurenggutIkut bayang
Tapi kiniHidupku terlalu tenangSelama tidak antara badaiKalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapaiMengapa kalau beranjak dari siniKucoba dalam mati.
                                      1943



Prajurit Penjaga MalamWaktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu ?Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,bermata tajamMimpinya kemerdekaan
bintang-bintangnyakepastian ada di sisiku
selama menjaga daerah mati iniAku suka pada mereka yang berani hidupAku suka pada mereka yang masuk menemu malamMalam yang berwangi mimpi, terlucut debu……Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu!       

1948


Persetujuan dengan Bung KarnoAyo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janjiAku sudah cukup lama dengan bicaramudipanggang diatas apimu, digarami lautmuDari mulai tgl. 17 Agustus 1945Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimuAku sekarang api aku sekarang lautBung Karno ! Kau dan aku satu zat satu uratDi zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayarDi uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh1948


Tak SepadanAku kira:Beginilah nanti jadinyaKau kawin, beranak dan berbahagiaSedang aku mengembara serupa AhasverosDikutuk-sumpahi ErosAku merangkaki dinding butaTak satu juga pintu terbukaJadi baik juga kita padamiUnggunan api iniKarena kau tidak ‘kan apa-apaAku terpanggang tinggal rangka1943


HukumSaban sore ia lalu depan rumahkuDalam baju tebal abu-abuSeorang jerih memikul. Banyak menangkis pukulBungkuk jalannya --  LesuPucat mukanya --  LesuOrang menyebut satu nama jayaMengingat kerjanya dan JasaMelecut supaya terus ini padanyaTapi mereka memaling.  Ia begitu kurang tenagaPekik di angkasa : Perwira mudaPagi ini menyinar lain masaNanti, kau dinanti-dimengerti !.   

1943


Taman
Taman punya kita berduatak lebar luas, kecil sajasatu tak kehilangan lain dalamnyaBagi kau dan aku cukuplahTaman kembangnya tak berpuluh warnaPadang rumputnya tak berbanding permadanihalus lembut dipijak kakiBagi kita itu bukan halanganKarenadalam taman punya kita berduaKau kembang, aku kumbangAku kumbang, kau kembangKecil, penuh surya taman kitatempat merenggut dari dunia dan ‘nusia .    1943



Mirat Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebahmenatap lama ke dalam pandangnyacoba memisah matanya menantangyang satu tajam dan jujur yang sebelahKetawa diadukan giginya pada mulut Chairil,dan bertanya : “Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah ?”Mirat raba urut Chairil, raba dadaDan tahukah dia kini, bisa katakandan tunjukkan dengan pasti di manamenghidup jiwa, menghembus nyawaLiang jiwa-nyawa saling berganti.  DiarapatkanDirinya pada Chairil makin sehatihilang secepuk segan, hilang secepuk cemashiduplah Mirat dan Chairil dengan derasmenuntut tinggi, tidak setapak berjarakdengan mati
                                                                                1949 




Lagu Orang Usiran 
Misalkan, kota ini punya penduduk sepuluh jutaAda yang tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam guaTapi tidak ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat        buat kita
Pernah kita punya negeri, dan terkenang sayuLihat dalam peta, akan kau ketemu di situSekarang kita tidak bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa       ke situDi taman kuburan ada sebatang pohon berdiriTumbuh subur saban kali musim semiPas jalan lama tidak bisa ditiru, syangku, pas jalan lama tidak bisa ditiruTuan konsol hantam meja dan berkata :“Kalau tidak punya pas jalan, kau resmi tidak ada”Tapi kita masih hidup saja, sayangku, tapi kita masih hidup sajaDatang pada satu panitia, aku ditawarkan kursiDengan hormat aku diminta datang setahun lagiTapi ke mana kita pergi malam ini, sayangku, tapi ke mana kita pergi       ini hariTiba di suatu rapat umum, pembicara berdiri dan berkata :“Jika mereka boleh masuk, mereka colong beras kita”Dia bicarakan kau dan aku, sayangku, dia bicarakan kau dan akuKukira kudengar halilintar di langit membelahAdalah Hitler di Eropah yang bilang : “Mereka pasti punah”Ah, kitalah yang dimaksudnya, sayangku, kitalah yang dimaksudnyaKulihat anjing kecil dalam baju panas terjagaKulihat pintu terbuka dan kucing masuk begitu sajaTapi bukan Yahudi Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi JermanTurun ke pelabuhan dan aku berdiri ke tepiKelihatan ikan-ikan berenang merdeka sekaliCuma sepuluh kaki dari aku, sayangku, Cuma sepuluh kaki dari aku
Jalan lalu ke hutan, terlihat burung-burung di pohonTidak punya ahli-ahli politik bernyanyi ria mereka di pohonMereka bukanlah para manusia, sayangku, mereka bukanlah para-         manusia
Kumimpi melihat gedung yang bertingkat seribuBerjendela seribu dan berpintu seribuTidak ada satupun kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya
Berdiri di alun-alun besar ditimpa saljuSepuluh ribu serdadu berbaris datang dan laluMereka mencari kau dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku
*)  Diterjemahkan oleh Chairil Anwar, dari karya W.H. Auden dalam Song XXXIII
1949


Buat Nyonya N
Sudah terlampau puncak pada tahun yang laludan kini di turun ke rendahan datarTiba di puncak dan dia sungguh tidak tahuBurung-burung asing bermain keliling kepalanyaDan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun

Sepanjang jalan dia terkenang akan menjadi Satuatas puncak tinggi sendiriberjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematianTapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tahuJalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagiSelanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-buah pandan ganjilTurun terus.  SepiDatar-lebar-tidak bertepi
                                                                                1949


Kupu Malam dan Biniku
Sambil berselisih lalumengebu debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakangNgeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke binikuLautan yang belum terdugaBiar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali tak setahukuIa menipuk.   1943


Penghidupan
Lautan maha dalammukul dentur selamanguji pematang kitamukul dentur selamahingga hancur remuk redamKurnia Bahagiakecil setumpuksia-sia dilindung, sia-sia dipupuk1942


Aku Berkisar antara Mereka
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksaBertukar rupa dipinggir jalan, aku pakai mata merekapergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda :kenyataan-kenyataan yang didapatnya(bioskop Capitol putar film Amerikalagu-lagu baru irama mereka berdansa)Kami pulang tidak kena apa-apaSungguhpun ajal macam rupa jadi tetanggaTerkumpul di halte kami tunggu trem dari kotaYang berderak di malam hari sebagai gigi masaKami, timpang dan pincang, negatip dalam janji jugaSandarkan tulang belulang pada lampu jalan sajaSedang tahun gempita terus berkataHujan menimpa.  Kami tunggu trem dari kotaAh, hati mati dalam malam ada doaBagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta merekaSemoga segala sypilis dan segala kusta(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersamaTerimalah duniaku antara yang menyaksikan bisaKualami kelam dan mereka dalam hatiku pula1949


Ajakan
Menembus sudah cayaUdara tebal kabutKaca hitam lumutPecah pencar sekarangDi luar legah lapangMari ria lagiTujuh belas tahun kembaliBersepeda sama gandenganKita jalani ini jalan
Ria bahagiaTak acuh apa-apaGembira girangBiar hujan datangKita mandi basahkan diriTahu pasti sebentar kering lagi
1943


Nisan
Untuk Neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbuKeridhaanmu menerima segala tibaTak kutahu setinggi itu di atas debuDan duka maha tuan tak bertahta                                                                                1942


SorgaSeperti ibu – nenekku jugatambah tujuh keturunan yang laluaku minta pula sampai di sorgayang kata Masyumi-Muhammadiyah bersungai susudan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam dirikunekat mencemooh :  Bisakah kiranya ?berkering dari kuyup laut birugamitan dari tiap pelabuhan gimana ?Lagi siapa bisa mengatakan pastidi situ memang ada bidarisuaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Yati ?1947


Suara MalamDunia badai dan topanManusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”Jadi ke manauntuk damai dan redaMatiBarangkali ini diam kaku sajadengan ketenangan selama bersatumengatasi suka dan dukaKekebalan terhadap debu dan nafsuBerbaring tak sadarSeperti kapal pecah di dasar lautanjemu dipukul ombak besar
Atau ini
Peleburan dalam Tiadadan sekali akan menghadapi cahayaYa Allah! Badanku terbakar-segala samarAku sudah melewati batasKembali ?   Pintu tertutup dengan keras
1943


MalamMulai kelambelum buntu malamkami masih berjaga–Thermopylae?-- jagal tidak dikenal ? -tapi nantisebelum siang membentangkami sudah tenggelam hilang1957

Sia-SiaPenghabisan kali ini kau datangMembawa kembang berkarangMawar merah dan melati putihDarah dan SuciKau tebarkan depankuSerta pandang yang memastikan : untukmuLalu kita sama termanguSaling bertanya : apakah ini?Cinta?  Kita berdua tak mengertiSehari kita bersama Tak hampir-menghampiriAh! Hatiku yang tak mau memberiMampus kau dikoyak-koyak sepi1943


Pelarian1. Tak tertahankan lagiremang miang sengketa di siniDalam lariDihempaskannya pintu keras tak berhingga
Hancur luluh sepi seketikaDan paduan dua jiwa
2 .Dari kelam ke malamTertawa meringis malam menerimanyaIni batu baru tercampung dalam gulita
“Mau apa ?  Rayu dan pelupaAku ada !  Pilih saja !Bujuk dibeli ?Atau sungai sunyi ?Turut saja !”
Tak kuasa-terengkamIa dicengkam malam
                                                                                1943


Selamat TinggalAku berkacaIni muka penuh lukaSiapa punya?
Kudengar seru menderu- dalam hatiku? -Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pulaMenggelepar tengah malam butaAh…!!Segala menebal, segala mengentalSegala tak kukenal
Selamat tinggal…!!!                         1943


HampaKepada Sri yang selalu sangsiSepi di luar. Sepi menekan mendesak.Lurus kaku pohonan. Tak bergerakSampai ke puncak. Sepi memagut,Tak satu kuasa melepas-renggutSegala menanti. Menanti. Menanti.Sepi.Tambah ini menanti jadi mencekikMemberat-mencekung pundaSampai binasa segala. Belum apa-apaUdara bertuba. Setan bertempikIni sepi terus ada. Dan menanti                       
    1943


SendiriHidupnya tambah sepi, tambah hampaMalam apa lagiIa memekik ngeriDicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segalaYang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat jugaDalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!                                         

1943


Aku Berada KembaliAku berada kembali.  Banyak yang asingAir mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elangserta mega yang tersandar pada khatulistiwa lainrasa laut telah berubah dan dupunya wajahjuga disinari matari lainHanyaKelengangan tinggal tetap sajaLebih lengang aku dikelok-kelok jalanlebih lengang pula ketika berada antarayang mengharap dan yang melepasTelinga kiri masih berpalingditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh1949