Tobelo
Imam Jafar Nuh adalah penguasa Kesultanan Ternate yang hidup pada zaman dahulu. Sultan Jafar beristrikan seorang hidadari dari Kahyangan yang kecantikan wajahnya tidak ada yang menandinginya.
Pada suatu hari datanglah adik permaisuri Sultan Jafar Nuh dari Kahyangan. Gajadean namanya. Ia bermaksud menjenguk kakaknya. Beberapa saat tinggal di istana Kesultanan Ternate, Gajadean merasa betah. Akhirnya, Gajadean bahkan enggan kembali ke Kahyangan. Mendapati sikap adik iparnya itu Sultan Jafar Nuh lantas berkehendak mengangkat Gajadean sebagai sangaji (artinya : Penguasa suatu wilayah yang berada di hawah kekuasaan kesultanan atau kerajaan)
Kata Sultan Jafar Nuh, "Aku hendak mengangkatmu sebagai sangaji di Tobelo. Engkau berhak menyandang gelar selaku sultan."
"Terima kasih, Kanda," jawab Gajadean,
"Namun yang perlu engkau perhatikan, sebag ai sangaji engkau berkewajiban nnenyerahkan upeti ke Kesultanan Ternate seperti halnya para sangaji lainnya."
Gajadean menyatakan kesanggupannya untuk mematuhi pesan Sultan Jafar Nuh. Tidak herapa lama kemudian Gajadean pun menuju Tobelo dan segera membenahi daerah kekuasaan barunya itu. la mendirikan sebuah istana yang megah dan memperkuat pertahanan tobelo dengan mengangkat para prajurit juga menunjuk dua orang yang telah ternama kesaktian dan ketangguhannya selaku kapitan. Keduanya adalah Kapitan Metalomo dan Kapitan Malimadubo. Dalam pemerintahan Gajadean yang adil dan bijaksana, Tobelo pun menjadi daerah yang maju. Rakyat Tobelo lebih makmur dan sejahtera dibandingkan sebelumnya. Rakyat Tobelo sangat menghormati dan mematuhi perintah Gajadean. Terlebih-lebih mereka juga mengetahui jika sangaji mereka itu berasal dari Kahyangan.
Sesuai janji yang diucapkannya pada Sultan Jafar Nuh, setiap tahun Gajadean senantiasa mengirimkan upeti ke Kesultanan Ternate. Upeti itu berupa beras, kelapa, dan hasil pertanian lainnya. Gajadean langsung memimpin penyerahan upeti itu.
Syandan, Gajadean kembali memimpin penyerahan upeti ke Kesultanan Ternate. Setelah menyerahkan upeti, Gajadean berniat kembali ke Tobelo. Sangatlah marah Gajadean ketika mendapati terompah2 yang semula dikenakannya tidak lagi ada di tempatnya semula. la telah memerintahkan pengawal dan prajurit pengiringnya untuk mencari, namun terompah kesayangannya itu tidak juga ditemukan. Tanpa lagi mengenakan alas kakinya, Gajadean kembali pulang ke Tobelo. Ia sangat yakin, Sultan Jafar Nuh telah mengambil terompah kesayangannya. Ia sangat marah dan ingin membalas perlakuan kakak iparnya yang diyakininya mengambil terompah kesayangannya itu.
Setibanya di Tobelo, Gajadean terus memikirkan terompah indah kesayangannya itu. Setiap kali la memikirkan, kebenciarnya pada Sultan Jafar Nuh kian membesar. Dendamnya pada kakak iparnya itu kian menjadi-jadi. Tersulut oleh dendam dan kemarahannya. Gajadean lantas memerintahkan segenap rakyat Tobelo untuk mengumpulkan kotoran mereka dan memasukkannya pada guci-guci besar. Perintah tersebut sesungguhnya membuat rakyat Tobelo keheranan, kebingungan, dan serasa tidak habis mengerti. Namun demikian, mereka patuh menjalankan perintah Sultan Gajadean tersebut.
Selama setahun segenap rakyat Tobelo mengisi guci-guci besar itu dengan kotoran mereka yang bau lagi menjijikkan tersebut. Hingga waktu penyerahan upeti ke Kesultanan Ternate pun tiba. Gajadean kembali ke Kesultanan Ternate untuk menyerahkan upeti. Bukan beras, kelapa, dan aneka hasil pertanian rakyat Tobelo seperti biasanya yang dikirimkan ke Kesultanan Ternate, melainkan guci-guci besar berisi kotoran rakyat Tobelo.
Seperti tidak menyimpan dendam dan kemarahan, Gajadean berbincang-bincang akrab dengan Sultan Jafar Nuh setibanya ia di Kesultanan Ternate. Setelah penyerahan upeti itu selesai, Gajadean beserta rombongan Tobelo pun meminta diri untuk kembali ke Tobelo.
Sepeninggal Gajadean, Sultan Jafar Nuh memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk membuka upeti dari Tobelo sebelum disimpan di lumbung kerajaan. Betapa terperanjatnya Sultan Jafar Nuh setelah mendapati isi guci-guci besar itu. Seketika itu kemarahannya pun meluap. Ia merasa kehormatannya selaku sultan sangat dilecehkan adik iparnya.
"Ini sebuah penghinaan!" seru Sultan Jafar Nuh dengan kemarahan meninggi. "Secara nyata Gajadean dan rakyat Tobelo telah meruntuhkan kehormatanku dan Kesultanan Ternate. Penghinaan dan pelecehan kehormatan ini harus dibalas! Kita akan gempur Tobelo untuk menunjukkan kehormatan dan kewibawaan Kesultanan Ternate!"
Peperangan antara Kesultanan Ternate dan Tobelo pecah, berlangsung sangat sengit. Seiring berlalunya sang waktu, semakin sengit peperangan itu. Dengan mengerahkan siasat dan strategi perang tertentu, akhirnya Kesultanan Ternate dapat mengalahkan kekuatan Tobelo pendukung Sultan Gajadean.
Setelah mengalami kekalahan, kekuatan Tobelo menjadi centang-perenang. Sebagian dari mereka terpaksa harus berlari ke dalam hutan untuk menyelamatkan diri. Sebagian yang lain harus bersembunyi di bukit dan gunung untuk menghindarkan diri dari serangan prajurit-prajurit Kesultanan Ternate. Sultan Gajadean pun turut mengungsi. Entah mengungsi ke mana adik ipar Sultan Jafar Nuh tersebut hingga keluarga maupun para prajurit Tobelo kemudian yang berusaha mencarinya tidak menemukannya. Berbagai usaha telah dilakukan, namun keberadaan Sultan Gajadean tidak ditemukan.
Kapitan Metalomo dan Kapitan Malimadubo segera menggalang kekuatan. Keduanya tetap berniat menegakkan pemerintahan di Tobelo. Karena keberadaan Sultan Gajadean tidak juga diketemukan, keduanya memimpin pemerintahan Tobelo secara sementara. Hingga akhirnya mereka semua kembali ke Tobelo setelah kekuatan prajurit Kesultanan Temate kembali pulang.
Sultan Gajadean tetap juga tidak ditemukan dan juga tidak kembali ke Tobelo. Kapitan Metalomo dan Kapitan Malirnadubo beserta rakyat Tobelo lantas bersepakat untuk menentukan sultan baru sebagai pengganti Sultan Gajadean. Secara utuh mereka bersepakat menunjuk Kobubu, anak lelaki Sultan Gajadean, menjadi sultan Tobelo yang baru. Keadaan di Tobelo pun berangsur-angsur membaik setelah Kobubu menjalankan pemerintahannya.
Syandan pada suatu hari, Mama Ua, anak perempuan Sultan Gajadean, pergi ke pantai dengan diiringi dayang-dayang dan juga para prajurit pengawal. Setibanya di pantai, Mama Ua melantunkan sajak:
Papa Ua nyao deo
Kabunga manyare-nyare
Toma buku molitebu
(Orang yang tidak berkeluarga, seperti ikan di tepi pantai, di pinggir pantai di kaki gunung)
Keajaiban pun terjadi setelah Mama Ua mengakhiri sajaknya. Mendadak muncullah gugusan pulau di depan wilayah Tobelo. Pulau-pulau itu membentang dari wilayah Mede hingga di depan wilayah Tobelo.
Pesan Moral dari Kumpulan Cerita Rakyat Legenda Nusantara Asal Mula Pulau-Pulau di Tobelo adalah Suatu masalah hendaklah diselidiki baik-baik dan kemudian dicarikan jalan keluarnya secara baik-baik. Kecerobohan dalam memutuskan sesuatu dapat menyebabkan munculnya masalah baru yang jauh lebih besar dampak buruknya.
Kumpulan-Kumpulan Cerita Rakyat : Legenda Pulau Nusa
Tersebutlah seorang lelaki bernama Nusa. Ia tinggal di pinggir Sungai Kahayan bersama istri dan adik iparnya. Nusa setiap hari menggarap sawah dan juga menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Suatu ketika terjadi musim kemarau yang terus berkepanjangan. Sungai dan mata air mengering. Aneka tanaman merenggas dan layu. Seperti halnya warga lainnya, Nusa merasakan kesulitan yang sangat dalam musim kemarau yang berkepanjangan itu. Tanaman di sawahnya layu dan mati, diapun kesulitan untuk mencari ikan di sungai yang surut airnya itu. Nusa pun berkehendak untuk pindah ke daerah lain yang masih mempunyai sumber air untuk mendapatkan kehidupan yang lebih balk. Setelah menyiapkan bekal secukupnya, Nusa mengajak istri dan adik iparnya untuk berangkat. Dengan menaiki sebuah perahu kecil, mereka menuju hilir Sungai Rungan.
Perjalanan mereka menuju hilir Sungai Rungan itu tidak dapat lancar mereka lakukan. Sebatang pohon besar yang tumbang menghalangi laju perahu mereka. Satu-satunya cara agar mereka dapat meneruskan perjalanan adalah memotong batang pohon besar itu. Nusa dan adik iparnya segera bekerja memotong batang pohon itu dengan kapak. Sangat besar batang pohon itu hingga Nusa dan adik iparnya harus bekerja keras selama berjam-jam. Akibatnya, Nusa merasa lapar yang sangat. Nusa berkehendak mencari makanan di hutan untuk menghemat bekal mereka yang tidak seberapa. Nusa lalu mengajak adik iparnya menuju hutan.
Nusa menemukan telur yang cukup besar. Sekitar dua kali ukuran telur angsa. Nusa tidak mengetahui telur apa yang ditemukannya itu. Ia kemudian merebus telur itu dan memakannya sendirian karena istri dan adik iparnya tidak mau memakannya. Istrinya bahkan menyarankan agar Nusa tidak memakan telur itu. Namun, Nusa tetap bersikeras untuk memakannya.
Di tengah malam, Nusa terbangun dari tidurnya. Ia merasakan tubuhnya gatal luar biasa. Di sekujur tubuhnya juga terlihat bintik- bintik kemerah-merahan. Nusa telah menggaruk bagian-bagian tubuhnya, namun tidak juga mereda rasa gatal yang dirasakannya. Segera dibangunkannya istri dan adik iparnya untuk membantunya menggaruk. Namun demikian, Nusa tetap merasa gatal. Berbagai cara telah dilakukan, tetap juga rasa gatal yang dirasakan Nusa itu tidak juga berkurang. Adik ipar Nusa yang kebingungan lantas mencari bantuan ke perkampungan terdekat.
Keesokan paginya tubuh Nusa mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Bintik-bintik berwarna kemerah-merahan di sekujur tubuh Nusa telah berubah menjadi sisik-sisik. Tubuh Nusa dari bagian perut hingga kaki telah juga memanjang hingga menyerupai bentuk naga. Hanya bagian wajah hingga dadanya saja yang masih menyerupai manusia. Dalam keadaan seperti itu Nusa pun berujar pada istrinya, "Aku rasa, semua yang terjadi pada diriku ini bermula dari telur yang kumakan. Telur itu tentu telur naga. Sungguh, aku menyesal karena tidak mendengarkan nasihatmu. Namun, bagaimanapun halnya, penyesalanku tidak lagi berguna. Tuhan telah menakdirkan aku menjadi naga. Aku harus menerima takdirku ini"
Istri Nusa hanya bisa bersedih hati mendapati kejadian yang menimpa suaminya. Sementara warga yang dimintai tolong adik ipar Nusa akhirnya berdatangan. Mereka terheran-heran mendapati wujud Nusa tanpa bisa melakukan suatu tindakan apapun untuk menolong Nusa.
Di hadapan semuanya, Nusa berpesan, malam nanti akan turun hujan yang sangat lebat disertai angin badai yang dahsyat. Guntur dan petir akan sambar-menyambar: Air sungai Rungan akan meluap hingga membanjiri daerah-daerah di sekitar sungai Rungan itu. Nusa juga berpecan agar istrinya, adik iparnya, dan juga segenap warga mengungsi ke daerah yang aman. Nusa lantas meminta agar tubuhnya yang telah berubah menjadi naga dengan panjang lebih dari tiga kali pohon kelapa itu digulingkan ke sungai. Ia tidak tahan dengan terik panas sinar matahari. Naga jelmaan Nusa itu lantas berenang menuju muara Sungai Kahayan.
Pesan Nusa terbukti benar. Pada malam harinya keadaan di daerah itu persis seperti yang dipesankan Nusa. Hujan turun sangat deras, angin badai dahsyat menerjang, diiringi guntur dan petir yang sambung-menyambung. Permukaan Sungai Rungan terus meninggi dengan cepat. Banjir pun terjadi. Ketinggian air di daerah itu bahkan melebihi tingginya pepohonan. Istri Nusa, adik ipar Nusa, dan warga yang mendengarkan pesan Nusa dapat selamat setelah mengungsi di tempat yang aman.
Banjir besar di Sungai Rungan menyebabkan tubuh Nusa terbawa arus hingga akhirnya ia tiba di Sungai Kahayan. Sebelum menuju lautan luas, Nusa berkehendak berdiam di sebuah teluk yang dalam. Ia pun memangsa ikan-ikan yang berada di teluk itu. Ikan-ikan yang berdiam di muara Sungai Kahayan itu menjadi cemas dengan kehadiran Nusa. Dengan nafsu makannya yang luar biasa, para ikan khawatir, Nusa akan memangsa mereka semua. Para ikan lantas bertemu dan berunding untuk mencari cara agar terbebas dari malapetaka yang diakibatkan Nusa itu. Ikan saluang tampil dengan rencananya yang akhirnya disetujui oleh para ikan.
Ikan saluang lalu menghampiri Nusa untuk mewujudkan rencananya. Ia sebutkan kepada Nusa, bahwa di laut luas ada seekor naga besar yang hendak menantang Nusa. Katanya, "Tuan Naga, naga di laut itu ingin mengadu kesaktian dengan Tuan untuk membuktikan siapa naga terkuat."
Nusa sangat geram mendengar laporan ikan saluang. "Seberapa besar naga di taut itu?" tanyanya.
"Sesungguhnya naga itu tidak sebesar Tuan Naga," jawab ikan saluang. "Namun keberaniannya sungguh luar biasa tinggi. Ia sangat terusik dengan kehadiran Tuan Naga di muara Sungai Kahayan ini. Menurut kabar yang saya dengar, naga itu tengah menuju ke muara Sugai Kahayan ini untuk menyerang Tuan Naga!"
Bertambah-tambah kegeraman Nusa. Ingin segera didatanginya naga itu dan mengadu kekuatan dengannya. Namun, ikan saluang menyarankan agar Nusa menunggu saja di muara Sungai Kahayan itu. "Hendaklah Tuan Naga menyimpan tenaga untuk menghadapi naga besar itu di tempat ini. Jika Tuan Naga mencarinya di Laut luas, bisa jadi Tuan Naga akan ketelahan. Bukankah naga itu bisa
mengalahkan Tuan Naga jika Tuan Naga ketelahan?"
Nusa setuju dengan saran ikan saluang. Berhari-hari Nusa terus menunggu kedatangan naga besar dari taut dengan sikap waspada. Selama menunggu itu ia tidak berani tidur. Ia khawatir naga di laut itu akan menyerangnya ketika ia tengah tertidur. Karena telah berhari-hari tidak tidur, Nusa menjadi sangat mengantuk. Tertidurlah ia tak lama kemudian.
Ketika mengetahui Nusa tertidur, ikan saluang mendekati ekor Nusa. Berteriaklah ia sekeras¬kerasnya, "Bangun Tuan Naga! Musuhmu telah datang! Musuhmu telah datang!"
Nusa terperanjat mendengar teriakan ikan saluang. Cepat ia memutarkan kepalanya. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat air sungai bergolak-golak. Ia menyangka bergolaknya air sungai itu disebabkan kedatangan musuhnya yang akan menyerangnya. Padahal, bergolaknya air itu disebabkan oleh gerakan ekornya sendiri. Nusa langsung menyerang. Digigitnya ekornya sendiri yang disangkanya musuhnya itu hingga ekornya terputus!
Nusa menjerit kesakitan ketika ekornya putus. Ikan saluang segera memanggil ikan-ikan lainnya untuk menggigiti luka pada tubuh Nusa. Nusa yang tidak berdaya kian kesakitan akibat gigitan ikan-ikan itu. Kekuatan tubuhnya terus melemah dan ia pun akhirnya tewas setelah kehabisan darah. Seluruh ikan terus memangsa dagingnya hingga hanya tersisa tulang-belulang Nusa.
Tulang-belulang Nusa akhirnya tertimbun oleh lumpur dan tanah. Aneka pepohonan kemudian tumbuh di tempat itu hingga akhirnya terbentuk sebuah pulau. Warga menyebut pulau di muara Sungai Kahayan itu dengan nama Pulau Nusa.
Pesan Moral dari Kumpulan-Kumpulan Cerita Rakyat : Legenda Pulau Nusa adalah kita hendaklah mendengarkan saran dan nasihat orang lain demi kebaikan diri kita sendiri. Orang yang keras kepala dengan mengabaikan saran kebaikan akan merasakan kerugian sendiri di kemudian hari.
Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Indonesia : Legenda Batu Menangis
Syahdan hiduplah seorang janda miskin pada masa lampau, Mak Dasah namanya. Ia tinggal
di sebuah gubug reyot di pinggir hutan. Mata pencahariannya sehari-hari adalah bekerja di ladang sempit peninggalan mendiang suaminya. Sepulang dari berladang, Mak Dasah biasa mencari kayu bakar di hutan. Kayu-kayu bakar itu lantas dijualnya di perkampungan penduduk yang jauh letaknya dari tempat tinggalnya.
Mak Dasah mempunyai seorang anak gadis. Jelita namanya. Sesuai namanya, wajah Jelita amatlah cantik. Sayang, Jelita sangat pemalas. Hari-harinya dihabiskannya untuk berdandan dan bercermin. Ia sangat mengagumi kecantikan dirinya. Meski berulangu kali Mak Dasah mengingatkan agar dia merubah kelakuannya itu, namun Jelita
enggan menuruti nasihat ibunya. Ia tetap sangat malas, enggan membantu kerepotan ibunya.
Selain pemalas, Jelita juga sangat manja. Apapun yang dikehendakinya harus dituruti ibunya. Jika tidak dituruti, Jelita akan marah¬marah. Meski begitu buruk kelakuan anaknya, Mak Dasah tetap sayang dengan anak perempuannya itu. Meski sangat kerepotan, namun Mak Dasah akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi setiap permintaan Jelita. Namun, Jelita senantiasa meminta dan terus meminta, dia tidak peduli dengan keadaan ibunya.
Pada suatu hari Mak Dasah mengajak Jelita ke pasar. Jelita mau diajak ke pasar dengan mem¬berikan syarat, "Aku tidak mau berjalan bersama dengan Ibu. Ibu harus berjalan di belakangku." Mak Dasah terpaksa menuruti permintaan
anak gadisnya itu.
Jelita berangkat ke pasar dengan mengenakan pakaian terbaru sekaligus terbaik yang dimilikinya. Ia juga berdandan secantik-cantiknya seperti jika ia hendak menghadiri sebuah pesta. Ia lantas berjalan di depan ibunya yang mengenakan pakaian lusuh. Ibu dan anak itu begitu jauh berbeda dalam penampilan hingga orang yang tidak mengenal mereka tentu tidak akan menyangka jika mereka sesungguhnya ibu dan anak.
Tersebutlah seorang pemuda yang bertanya pada Jelita, "Wahai gadis cantik, apakah wanita berbaju lusuh yang berjalan di belakangmu itu ibumu?"
Jelita sejenak memandang pemuda yang bertanya padanya Tampan wajah pemuda itu. Melihat ketampanan pemuda itu, Jelita tiba-tiba merasa sangat malu mengakui Mak Dasah selaku ibu kandungnya. "Bukan!" katanya. "Ia bukan ibuku, melainkan pembantuku."
Betapa sedih dan sakit hati Mak Dasah ketika mendengar jawaban anak perempuannya. Dinasihatinya agar Jelita tidak berani lagi berkata seperti itu. "Jelita, anakku. Aku ini ibumu, orang yang melahirkanmu. Sungguh, sangat durhaka kelakuanmu jika engkau berani menganggapku sebagai pembantumu! Sadarlah engkau, wahai anakku."
Namun, Jelita tak menganggap nasihat ibu¬nya. Ia bahkan kian menjadi-jadi. Kepada orang-orang yang bertanya padanya selama dalam perjalanan itu, Jelita senantiasa tegas menjawab jika perempuan tua yang berjalan di belakangnya itu adalah pembantunya.
Hati dan perasaan Mak Dasah sangat seperti teriris sembilu. Ketika ia tidak lagi dapat menahan kesakitan hatinya, berdoalah Mak Dasah, kepada Tuhan, "Ya Tuhan, hamba tidak lagi menahan penghinaan anak harnba ini! benar telah membatu hati anak hamba ini, karena itu, Ya Tuhan, hukumlah anak hamba durhaka itu menjadi batu!"
Doa Mak Dasah dikabulkan.
Tak berapa lama kemudian kedua kaki Jelita berubah menjadi batu. Jelita sangat takut. Betapa mengerikannya perasaan yang dialaminya ketika mendapati kedua kaki berubah menjadi batu. la kian ketakutan mendapati pinggangnya pun berubah membatu. Sadarlah ia, semua itu terjadi karena kedurhakaan besarnya kepada ibunya. Maka dia pun berteriak-teriak, "Mak, ampuni aku! Ampuni aku! Ampuni kedurhakaan anakmu ini, Mak"
Namun, semuanya telah terlambat bagi Jelita. Mak Dasah hanya terdiam. Sama sekali Mak Dasah tidak berusaha mengabulkan permohonan anaknya yang telah berbuat durhaka terhadapnya. Ia merasa telah cukup mengalami penderitaan yang diakibatkan anaknya itu. Hingga akhirnya seluruh tubuh Jelita berubah menjadi batu.
Batu jelmaan Jelita itu terus meneteskan air seperti air mata penyesalan yang menetes dari mata Jelita. Orang-orang yang mengetahtui adanya air yang terus menetes dari batu itu kemudian menyebutnya Batu Menangis
Pesan Moral Dari Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Indonesia Batu Menangis adalah Durhaka terhadap kedua orang tua akan berbuah kemurkaan Tuhan kepada pelakunya. Kita hendaknya senantiasa menghormati orangtua dan patuh terhadap nasihat mereka.